SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #2

1. Silent

Posisikan diri, ada saatnya kamu harus berpura-pura.”

//===//

Sayup-sayup angin mulai berhembus. Menerbangkan ujung jibab biruku. Langit biru menambah cerah suasana siang ini, membuatku harus melaksanakan tugas yang bernama menjemur kasur. Halaman rumah Abi-pemimpin pesantren tempatku mengaji memang terbilang luas. Tanaman hijau tumbuh subur di sisi rumah.

Mbak Ami sedang berjalan ke arahku. Membawa sebuah kasur berukuran single untuk di jemur di atas bangku panjang yang sudah disiapkan. Sebenarnya kasur ini tidak kumal, bahkan bisa dibilang bagus karena setiap hari selalu dijemur. Apalagi jika sejak matahari terbit, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Ning Nadia akan langsung meminta aku dan Mbak Ami untuk melakukannya.

“Roy!” panggil Mbak Ami. “Angkat ujungnya,” pintanya saat melihatku hanya menarik-narik ujung kasur.

“Berat, Mbak.” Ujarku.

Mbak Ami mendengus. “Angkat, Roy. Bukan ditarik,” sergahnya kemudian.

Aku hanya memasang cengiran kuda. Mengangkat ujung selimut yang menjuntai ke bawah. Ujung bangku yang terlalu dekat membuat peletakkan kasur di atas bangku tidak rata. Membuat Mbak Ami harus turun tangan mengeksekusi bagianku.

“Bilang kalau kamu nggak mau,” gerutunya.

“Mau, Mbak. Cuma ini memang susah,” elakku.

Mbak Ami jelas tidak percaya dengan ucapanku, secara kami bersama membaktikan diri di ndalem sudah empat tahun. Sudah saling mengetahui karakter masing-masing. Aku bahkan menganggap Mbak Ami sebagai saudara. Kita sama-sama berasal dari kota yang jauh. Makanya, teman memiliki banyak peran di sini.

“Nggak usah ngelak, Roy. Mbak sudah paham. Eh, itu di depan kayaknya ada tamu. Masuk gih, bukain pintu,” pinta Mbak Ami.

“Siap.”

Aku berjalan meninggalkan Mbak Ami yang kini memukul permukaan kasur dengan kayu.

Aku memasuki ndalem. berjalan menuju ruang tamu. Rumah ini memang tidak terlalu besar. Hanya ada tiga kamar tidur di dalamnya. Ketika akan ke ruang tamu, aku harus melewati ketiga kamar itu dan satu ruang keluarga.

Ceklek!

Bunyi pintu yang terbuka. Aku mempersilahkan dua tamu di depanku untuk masuk.

“Bapak Kiyai Sulton ada, Mbak?” tanya seorang pria berbaju hitam.

“Sedang menerima setoran hafalan, Pak. Biasanya jam 10 sudah selesai,” tuturku saat hendak berlalu meninggalkan mereka.

Pria berbaju biru mengangguk. “Biar kami tunggu.”

“Saya permisi, Pak.”

Aku berjalan menuju ke dapur. Melewati ruang keluarga yang biasanya ramai. Namun hari ini sangat sepi. Hulya yang biasanya tiduran di depan sofa kini sedang berkunjung ke rumah neneknya. Besan Abi Sulton.

Mataku berbinar saat melihat dua gelas teh manis sudah tertata rapi di atas nampan. Ini jelas pekerjaan Mbak Ami. Dia selalu bisa diajak kerjasama bahkan tanpa harus diminta. Yang membuatku kaget adalah bagaimana Mbak Ami bisa melakukannya dengan cepat. Padahal saat aku tinggal masuk, Mbak Ami masih sibuk dengan kasurnya di luar.

Aku kembali ke depan. Menyuguhkan teh manis hangat untuk keduanya. Berjalan pelan dan menunduk saat sampai di ruang tamu. Kedua lutuku digunakan sebagai sandaran beban tubuh.

“Silahkan, Pak.”

Aku izin berlalu setelah pria yang mengenakan baju biru itu mengucapkan terimakasih. Kembali menuju dapur untuk meletakkan nampan.

“Ada tamu, Mbak?” tanya Abi yang tiba-tiba saja sudah berada di pintu dekat dapur.

Aku berbalik, “Nggih, Bi. Satu orang bapak-bapak, dan satunya lagi agak mas-mas.”

Abi tertawa. “Agak mas-mas? Ada-ada saja.”

Aku tersenyum malu. Lidahku memang sering mengatakan sesuatu yang menurut pemahaman orang lain aneh. Padahal bagiku itu normal. Mencirikan sesuatu memang harus secara detail, kan. Makanya aku selalu menyelipkan kata-kata yang menurutku bisa membantu memberi kejelasan.

Abi berjalan menuju ruang tamu. Meninggalkanku yang beranjak mencuci nampan. Sosok beliau hilang di balik tirai yang menutupi pintu.

“Roy, makan yuk!”

Aku menoleh. Mbak Ami sedang berjalan ke arahku. “Yuk. Bawa ke asrama aja kan, Mbak?”

“Iya, Roy.”

Kami berjalan beriringan menuju asrama. Sebuah kamar yang ditempati khusus oleh santri ndalem, tempatnya bersebelahan dengan asrama santri regular. Sebelah kanan asrama yang aku tempati adalah koperasi pesantren. Asrama ini memang sengaja dibuat dekat dengan pintu gerbang agar lebih mudah dijangkau.

Lihat selengkapnya