SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #3

2. No Pacaran?

"Cinta yang benar adalah yang mendekat diri kepada Tuhan, bukan malah menjauhkan."

//==//

Kabut pagi ini terlihat begitu tebal. Pohon-pohon yang berwarna hijau berganti warna menjadi abu. Butiran embun menggumpal di permukaan dedaunan. Mbak Ami sudah mengeluarkan motor matic yang kadang dipakai oleh Ning Vina anak kedua Abi, jika sedang berada di rumah. Di pagi buta ini kami bersiap akan pergi ke pasar, berbelanja kebutuhan harian.

Pasar pahing yang memang buka sebelum subuh membuat kami harus berangkat saat pagi buta. Jika terlalu siang, kami jelas akan kecewa karena barang sudah habis. Pernah suatu kali aku dan Mbak Ami berangkat sekitar jam 6, karena berpikir masih sangat pagi. Alhasil yang kami temui di pasar bukanlah hiruk pikuk orang yang lalu lalang berbelanja, hanya ada tumpukkan keranjang sayur dan lapak kosong.

 “Aku yang depan, Mbak?” tanyaku saat Mbak Ami menyandarkan motornya di depanku.

Mbak Ami mengangguk. “Masih pagi, mata Mbak kan’ minus. Takut nabrak nantinya,” tuturnya sambil mengucek ujung matanya.

“Siap. Go-tor siap melaju.”

Mbak Ami mengernyit. “Kok Go-tor?”

Aku terbahak, rupanya dia tidak tahu singkatan yang aku berikan. “Go-tor. Gowes motor, Mbak. Kayak ojek online itu lo.”

“Ngasal banget kamu. Cepetan jalan, nanti kehabisan,” titahnya.

Hawa dingin langsung menyeruak. Tapi karena sudah terbiasa, aku sama sekali tidak kedinginan. Jarak antara pasar dan pesantren lumayan dekat. Hanya berkisar sepuluh menit jika dijangkau dengan sepeda motor. Tapi karena anak baik dan patuh terhadap peraturan, kami tetap bersedia mengenakan helm.

Tidak peduli kondisi jalan yang mulai ramai, motor yang aku gunakan tetap meliuk-liuk di jalanan. Melaju cepat membelah gelapnya subuh kali ini. Mbak Ami menyandarkan kepalanya di pundakku, sepertinya dia memang masih mengantuk.

“Mbak, sampai!”

Mbak Ami menegakkan tubuhnya, turun tanpa aba-aba hingga membuat motor oleng. Beruntung kakiku kuat menumpu. ”Mbak, ngagetin!”

“Kenapa, Roy?” tanyanya dengan wajah mengantuk.

Aku menghela nafas kasar. “Turunnya hati-hati, Mbak. Jangan ngagetin!”

Mbak Ami tidak merespon protesku. Dia berjalan saja meninggalkanku yang masih menyandarkan motor. Dengan gerakan cepat, aku mengimbangi langkahnya.

Kami berjalan beriringan, menuju lapak yang menjual sayur-sayuran hijau. Memilih beberapa ikat kangkung dan bayam. Suara orang yang sedang bertransaksi saling bersautan. Tawar menawar memang masih menjadi tradisi di pasar. Tapi sampai sekarang aku masih belum ahli. Bagiku kegiatan tawar menawar hanya akan membuang waktu. Makanya Mbak Ami yang selalu mengambil alihnya.

“Buk, satunya berapa?” tanya Mbak Ami sambil mengambil seikat kangkung.

“Tiga ribu, Mbak. Murah,” jawab Ibu berbaju merah.

“Mahal itu, Buk. Ambil dua, lima ribu ya,” tawar Mbak Ami. Ibu penjual menunjukkan wajah sewotnya.

“Yaelah, Mbak. Tiga ribu aja ditawar.”

Aku menarik ujung baju Mbak Ami, sedikit takut melihat ibu penjual sayuran yang terlihat garang. “Mbak. Beli aja sih, nggak usah nawar,” pintaku.

Mbak Ami melirikku, tanpa memberi jawaban. Kemudian kembali menghadap ibu penjual sayuran. “Saya mau beli loh, Buk. Masak nggak boleh nawar.”

“Ya boleh, Mbak. Tapi jangan keterlaluan.” Wajah ibu penjual sayuran itu mulai melunak.

“Namanya juga berdagang, Buk. Jadi ya biasa tawar menawar, yang penting jangan terbawa emosi kalau menghadapi orang yang model saya.” Mbak Ami tertawa, ”Saya becanda, Buk. Ambil lima ikat ya, Buk.” Mbak Ami menyerahkan sepuluh ribu dan lima ribuan. Lalu mengambil lima ikat kangkung, memasukannya ke dalam tas plastik yang aku bawa.

 Aku masih bingung melihat apa yang dilakukan Mbak Ami. Dia memang selalu melakukan hal unik. Caranya memberikan pelajaran membuatku sadar, bahwa ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyebarkan ilmu.

Kami berpindah ke lapak bumbu. Memilih bawang merah dan teman-temannya. Sebenarnya pekerjaanku hanya membuntuti dan menjadi sopir Mbak Ami. Bahkan selama di pasar Mbak Ami-lah yang melakukan jual beli.

“Beli apa, Mi?”

Aku sontak menengok saat mendengar suara yang sangat aku hapal. Kang Farhan sudah berada di samping Mbak Ami.

“Bawang merah sama temen-temennya. Kamu ngapain, Han?”

“Beli perlengkapan untuk renovasi. Mana belanjaannya?” tanyanya kepada Mbak Ami, tapi sesekali melirik ke arahku. Mbak Ami ini tetangganya Kang Farhan. Mereka sudah akrab sejak kecil. Bahkan saking akrabnya, sudah seperti saudara.

“Tuh, dibawa Roya.”

Kini Kang Farhan benar-benar menghadapku, membuatku sangat grogi. Aku langsung melempar senyum ke arahnya. Menetralkan detak jantung yang mulai menggila karena tatapan mata sendunya.

“Kok cuma dikit?” tanyanya mengerutkan keningnya. Senyum manis itu kembali terpancar.

Mbak Ami menoleh sesaat. “Belum selesai. Nih daftar belanjanya,” tunjuk Mbak Ami.

Lihat selengkapnya