SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #4

3. Cross check

"Tanyakan dan perjelas. Jika hanya bermain prasangka, bersiaplah engkau untuk kecewa."

//==//

Tinggal di pesantren membuatku harus mandiri. Jika dulunya segala sesuatu disiapkan, kini aku harus melakukannya sendiri. Termasuk saat sedang dalam keadaan sakit. Meski Mbak Ami akan dengan senang hati membantu, tapi tetap saja aku merasa tidak enak karena merepotkan. Seperti saat ini, setelah berlarian mengangkat jemuran saat tiba-tiba hujan turun. Kepalaku terasa pusing, badanku juga mulai demam. Tapi aku tidak mengatakannya pada Mbak Ami.

“Mau ke aula jam berapa?”

Aku menoleh, menyimpan freshcare di saku bajuku. “Acaranya emang jam berapa mulainya?”

“Lima belas menit lagi Abi rawuh. Kayaknya sekarang udah mulai.”

Aku mengangguk, mengambil pulpen dan notebook kecil yang biasa aku gunakan untuk mencatat hal-hal penting yang aku dengar saat sedang ada acara seperti sekarang. Berjalan mendahului Mbak Ami yang masih sibuk melengkungkan jilbabnya di bagian kening. Berkali-kali meniupnya namun tidak juga berhasil.

“Tunggu! Roy,” panggil Mbak Ami.

“Di depan, Mbak.”

Aku duduk di serambi asrama. Menunggu Mbak Ami yang masih sibuk dengan kegiatannya. Freshcare yang tadi tersimpan di saku, aku ambil. Mengoleskannya di tengkukku. Tubuhku terasa dingin, tapi saat di sentuh hanya hawa panas yang terasa. Fix, aku tidak enak badan.

“Yuk, berangkat.”

Mbak Ami sudah berdiri di sampingku, dengan jilbab yang sedikit melengkung di bagian kening. Kami berjalan beriringan di depan koperasi, menuju aula yang letaknya berada di sebelah masjid. sebuah kolam ikan lele berada persis di sisi koperasi.

Saat baru masuk, terdengar riuh obrolan para santri yang memenuhi ruangan aula. Ruangan besar ini disekat menggunakan papan pembatas yang berada di tengah ruangan. Di bagian depan ruangan, terdapat undakan yang menyerupai panggung. Biasanya bagian itu di tempati oleh pengasuh dan dewan pengasuh.

“Duduk dimana ya,” gumamku saat tidak melihat tempat kosong. Semua santri duduk lesehan di atas karpet, berbaris rapi menghadap panggung yang masih kosong.

Aku berjalan mengekor di belakang Mbak Ami yang berjalan memangkas barisan. Sambil menunduk, Mbak Ami terus berjalan hingga barisan paling depan. Membuatku menatapnya saat dia berhenti tepat di ujung barisan.

“Mbak, ini nggak serius kita di sini? Depan banget, Mbak.” Mbak Ami menarik tanganku agar ikut duduk di sebelahnya. Mengabaikan protesku begitu saja.

“Biar kelihatan, Roy. Barisan depan juga yang bakalan kena jepretan foto dan masuk di kalender. Lumayan, kan?” Mbak Ami memasang senyum lebar.

Aku menghela nafas panjang. “Malu, Mbak. Kelihatan banget dari depan. Ada Abi sama Gus Al juga, mereka faham wajah kita.”

Mata Mbak Ami berbinar. “Bagus dong. Biar sekali-kali kita kelihatan rajin.”

Aku masih saja memperotes, tapi dengan santainya Mbak Ami malah membekap mulutku. Membuatku melotot ke arahnya. Bukannya apa-apa, aku hanya tidak ingin terlihat oleh Abi, Gus Al, dan Kang Farhan yang turut memberikan sambutan. Tangan Mbak Ami sudah lepas dari depan mulutku, membuatku bisa bernafas dengan tenang.

Sayangnya ketenangan itu tidak berlangsung lama, saat ruangan tiba-tiba hening. Tidak ada suara sedikitpun selain deru nafas yang tertahan. Semua kepala yang terlihat dari jangkauan mataku menunduk. Aku sudah hafal dengan situasi seperti ini, tanpa bertanyapun sudah dapat dipastikan kalau Abi dan dewan ustadz sudah memasuki ruangan.

“Roy. Ada Gus Arkan,” celetuk Mbak Ami yang spontan membuatku menoleh ke samping.

Terlihat beberapa orang berjalan menuju panggung. Aku tidak mengikuti arah pandang Mbak Ami yang lekat memandang Gus Arkan. Tapi meneliti sosok yang selama ini selalu membayangi waktuku di setiap kegiatan.

“Roy!”

“Apa,” jawabku pelan. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian.

Mbak Ami mencolek pahaku. “Ada Gus Arkan. Itu liat ganteng banget.” Tangannya yang masih berada di atas pahaku menarik ujung bajuku. Membuat tubuhku bergerak-gerak.

“Diem, Mbak. Abi sudah rawuh.”

Aku menunduk, menghindari bertatap dengan orang-orang yang ada di depanku. Sebenarnya jaraknya lumayan jauh, tapi aku tidak ingin bertemu tatap dengan Kang Farhan. Bisa mendadak salah tingkah aku kalau sampai dia melihatku duduk di bangku depan.

Acara penutupan tahun ajaran sudah dibuka oleh MC. Secara bergantian santri putra yang aku tidak tahu namanya mempekenalkan kembali semua dewan ustadz yang ada di depan. Setelah beberapa acara, tiba saat sambutan dari lurah pesantren. Aku masih tidak berani mendongak, terlalu takut menatap mata sendu yang setiap malam aku rindukan.

Lihat selengkapnya