SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #5

4. Sir Joko

"Menunggu memang menyesakkan, tapi akan menyenangkan saat sudah tercipta sebuah pertemuan."

//==//

Tujuh tahun menetap di pesantren membuatku tidak pernah lagi betah tinggal di rumah. Seperti saat ini, liburan hari ketiga aku sudah merasa bosan berada di rumah. Mungkin karena terbiasa berada di tempat yang dipenuhi banyak orang, terbiasa melakukan sesuatu dengan teman-teman. Makanya saat sedang libur, merasa kehilangan.

Aku sedang berada di dapur. Memasak makanan untuk sarapan. Ibu ikut bersamaku, mengupas bawang merah untuk membuat bumbu. Pagi ini aku akan memasak tumis kacang panjang, ditemani telur dadar kesukaan Dafa, adikku.

Nduk, kamu kapan mau menetap di rumah?”

Aku menghela nafas. Pertanyaan yang sudah sering dilontarkan ibu saat aku sedang pulang atau ibu menelpon ke pesantren. Belum ada jawaban yang bisa aku sampaikan sekarang, ada dua hal yang membuatku dilemma saat ini.

“Kapan ya, Buk? Roya juga belum tahu,” jawabku pelan.

“Usia kamu sudah berapa? Teman-teman kamu juga sudah pada menikah.” Ibu yang sempat berhenti mengupas, kini kembali melanjutkan kegiatannya.

Aku memejamkan mata sekilas, mencoba mencari alternative jawaban yang bisa membuat Ibu tidak melanjutkan bahasan ini. “Menikah itu bukan soal usia, Buk. Tapi soal kesiapan, kematangan dan kedatangan jodoh.

“Ibu tahu, tapi kalau kamu terus menutup diri, kapan kamu akan siap?”

Aku tersenyum menghadapnya. “Akan ada saatnya, Buk.”

Soal menutup diri, saat itu ibu pernah mengenalkan seseorang kepadaku. Laki-laki mapan dengan proposal pernikahan yang sudah matang. Tidak tanggung-tanggung, laki-laki itu bahkan sudah menyiapkan rumah untuk kami jika nanti menikah.

Sayangnya aku sudah punya Kang Farhan yang aku harapkan menjadi nahkoda hidupku. Kedua karena aku ingin memperoleh pasangan yang mempunyai pemahaman ilmu agama yang baik. Alasan yang lebih menguatkan adalah Abi dan Umi belum memberiku izin untuk segera menetap di rumah. Makanya dengan perkataan yang aku buat sehalus mungkin, lamaran laki-laki mapan itu aku tolak.

“Ada seseorang yang kamu suka, Nduk?”

Aku menggeleng. “Kalau sudah waktunya, Roya pasti menikah, Buk.”

Usia di atas dua puluh tahun memang rentan. Mereka dihadapkan dengan label ‘perawan tua’ jika tidak segera menikah. Apalagi jika hanya focus pada Pendidikan saja, imejnya akan berubah menjadi perempuan yang hanya memikirkan diri sendiri.

“Sama Joko mau?”

Pertanyaan ibu membuatku spontan menoleh. Bayangkan saja, ibu menawarkan si Joko yang hobinya mainin burungnya. Teras rumahnya saja dipenuhi belasan sangkar burung. Belum lagi di ruangan belakang rumah, ada sebuah kamar terbuka yang isinya beraneka macam anak burung. Sudah mirip suaka margasatwa rumahnya.

Joko juga hobi ikut lomba balap burung. Entahlah, sepertinya namanya memang lomba balap burung. Aku tidak terlalu paham. Yang jelas, lomba itu diadakan di sebuah petak datar di tengah sawah. Sekelilingnya ada beberapa tiang yang menjulang tinggi. Kadang ada beberapa benda semacam kain atau plastik berwarna yang menggantung, berkibar terbawa angin.

“Ibuk, bercanda. Emang mau punya mantu pegawai kebun binatang begitu?”

Ibu malah tertawa. Melihatnya begini aku jadi tidak tega terus-terusan mengelak untuk segera menikah.

“Kok kebun binatang? Dia nggak kerja di sana kok.” Sesaat kemudian ibu memasang wajah bingung. Kini giliran aku yang aku tertawa.

“Ibuk ingat pernah ajak Roya ke sana waktu nikahannya Mas Jodi, abangnya Joko. Di belakang rumahnya banyak banget burungnya, Buk. Kayak kebun binatang kan?”

“Ngawur kamu.” Ibu menoleh, meletakkan kupasan bawangnya yang sudah selesai. Bahkan ibu terlalu banyak mengupasnya. “Tapi nggak apa-apa lah. Yang penting Ibu cepet punya mantu. Dafa juga pasti seneng kalo di rumahnya jadi banyak burung.”

Lihat selengkapnya