"Yang membuatmu berbeda, itulah yang istimewa."
//==//
Ibu membawa setandan pisang yang tidak aku tahu namanya. Pisang yang belum masak itu dikupas kulitnya. Rencananya akan dibuat keripik pisang. Aku ikut hadir membantu ibu. Jelas saja, keripik pisang itu memang akan aku bawa ke pesantren. Menjadi oleh-oleh yang khas dari daerahku. Apalagi keripik pisang buatan ibu yang memang rasanya tidak kalah dengan yang dijual di pasaran, membuatku teman-temanku terutama Mbak Ami selalu menagihnya jika aku pulang.
“Buk, ini digoreng semua, kan?” tanyaku sambil memasukkan pisang yang sudah diiris tipis-tipis.
“Iya, abisin,” sahut ibu dari ruang tengah. Beliau sedang mengambil plastik untuk wadah keripik-keripik ini.
Aku masih sibuk dengan pisang-pisang yang hampir kesemuanya akan menjadi keripik. Hanya tinggal satu kali menggoreng, pekerjaanku akan selesai. Hampir tiga jam bergelut dengan pisang dan kompor, membuatku kegerahan.
Ting!
Aku menoleh ke arah ponsel yang tergeletak di samping baskom berisi keripik, melihat siapa pengirim chat yang baru saja masuk. Nama Kang Farhan muncul paling atas, membuatku langsung mengambil ponsel itu dan melihat isinya.
Mr. Rois
Ya, nggak lagi sibuk, kan? Kang tunggu di halte ya.
Aku terkesiap kaget dengan chat dari Kang Farhan. Dia tidak mengabariku sebelumnya. Aku yang masih belum siap jelas kebingungan dengan ajakannya yang tiba-tiba. Satu kali menggoreng memang tidak lama, tapi aku butuh mandi dan bersiap. Berjalan menuju halte juga bukan perkara yang bisa dilakukan dalam waktu yang cepat.
Me
Lagi goreng keripik. Mau nunggu?
Aku tidak mungkin mengecewakannya yang sudah jauh-jauh datang ke sini. tapi juga tidak bisa begitu saja mengiyakan ajakannya yang mengejutkan ini. Chat balasan masuk, nama Kang Farhan kembali muncul di layar.
Mr. Rois
Nggak apa-apa, Ya. Kang tunggu.
Aku menahan nafas saat membacanya. Kang Farhan memang terbaik. Dia mau menungguku yang jelas membutuhkan lama untuk sampai ke halte. Jika seperti ini, aku harus menyelesaikan semuanya dengan kilat. Untung saja kegiatanku memang hampir selesai, setidaknya Kang Farhan tidak perlu menunggu seharian penuh.
Cinta memang mampu mengubah segalanya, termasuk sikap seseorang. Aku yang biasanya mandi berjam-jam, kini hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit. Semua itu demi Kang Farhan yang sudah bersedia datang tanpa diminta, meski aku tidak tahu apa tujuannya menungguku di halte.
“Buk. Roya keluar dulu ya,” pamitku pada ibu yang sedang memasukkan keripik pisang ke dalam toples plastik. Aku menyalami tangan halus ibu. Mengecup punggung tangannya yang mulai keriput.
“Mau kemana?” tanyanya sambil terus memasukkan keripik pisang.
Aku tersenyum ke arah ibu. “Ada perlu sebentar, Buk.”
Ibu mengangguk. Semenjak masuk pesantren, ibu malah tidak pernah melarangku pergi kemanapun. Beliau hanya menanyakan tujuannya, tanpa pernah melarang. Aku juga tidak pernah keluar tanpa ada hal yang penting.
Aku berjalan menuju halte. Jarak halte dan rumah bisa dibilang dekat, bisa ditempuh dalam jangka waktu lima menit saat berjalan kaki. Aku mempercepat langkah, tidak mau membuat Kang Farhan menunggu. Tapi aku bingung, apakah Kang Farhan benar akan mengajakku bertemu di halte? Tempat itu terlalu terbuka, tidak etis pula. Bagaimana jika ada yang melihat? Imej ku sebagai anak santri pasti akan tercoreng. Lebih baik aku menanyakannya.
Me
Ketemu dimana? Serius di halte? Nggak enak kali dilihat orang?
Aku sudah sampai di pintu halte sekarang. Tapi bingung dengan apa yang akan kulakukan di sini. tidak ada tanda-tanda Kang Farhan berada di sini. yang ada hanya beberapa tukang ojek, tukang becak dan beberapa mobil yang terparkir di depan toko.
Ting!
Chat balasan Kang Farhan.
Mr. Rois
Tengok ke kiri, ada mobil Avanza warna silver. Langsung masuk pintu depan sebelah kiri. Kang di mobil itu.
Aku celingukan ke kiri, terlihat mobil dengan plat R terparkir di depan toko jilbab. Dengan langkah mantap aku menghampirinya, mengikuti intruksi Kang Farhan untuk masuk ke dalamnya.
“Kok di sini?” tanyaku saat sudah duduk di dalam mobil.