"Hati tidak semudah itu digoyahkan."
//==//
Aku sedang berada di dapur ndalem. Seperti biasa, Umi memintaku membuat opor ayam. Aku tetap tidak sendirian, tentunya masih ada Mbak Ami sang koki yang akan mengeksekusi ayam ini menjadi makanan kesukaan keluarga Abi. Tugasku adalah menyiapkan bumbu, memotong ayam dan membuat lontong.
“Boleh saya minta tolong?”
Aku terlonjak seketika, suara seseorang mengagetkanku. Saat berbalik, aku langsung salah tingkah bertatapan dengan Gus Arkan yang sudah berdiri di belakangku. Jarak kami memang tidak dekat, tapi aura yang ditimbulkan Gus Arkan mampu membuatku merinding.
“Eh, boleh. Maaf, Gus. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku dengan gugup. Jujur saja, selama ini aku tidak pernah berhadapan dengannya. Bahkan Gus Alfin pun tidak pernah berbicara secara langsung kepadaku, seingatku.
“Buatkan mie instan. Saya lapar.”
Saat dia akan berbalik, aku menahannya. “Maaf, Gus. Masih ada nasi sama lauk. Mau saya ambilkan?”
Gus Arkan tersenyum. “Nggak. Saya nggak mau makan nasi. Telurnya dua, kasih cabainya lima dan kuahnya jangan terlalu banyak,” tuturnya sambil berjalan meninggalkanku. Sebelum sampai di pintu, dia berbalik. Membuatku mengernyit bingung. “Satu lagi, panggil Mas saja.”
Aku masih ternganga di tempatku. Membuat Gus Arkan menatapku aneh. Tidak berselang lama, dia kembali ke depan. Setahuku, selama aku di sini jarang sekali bertemu Gus Arkan. Pertemuan pertama kami saat di rumah sakit. Itu juga dua bulan yang lalu, sebelum itu dia tidak pernah muncul.
“Roy!” Mbak Ami menepuk pundakku. “Liat apa sih? Ada hantu?” tanya Mbak Ami penasaran. Dia mengikuti arah pandangku.
Aku menggeleng. “Nggak Mbak. Ini bumbunya udah. Aku mau masak mie instan.”
Mbak Ami menyentuh keningku dengan punggung tangannya. “Nggak panas. Tapi kok an-“
Aku menurunkan tangannya. “Nggak, Mbak. Berhenti ngira aku lagi sakit. Aku sehat wal afiat ya,” sahutku.
“Mie instan, buat siapa? Ning Nadia?” tanya Mbak Ami sambil menyalakan kompor.
Aku menggeleng. Aku yakin Mbak Ami akan meledekku, jika aku mengatakan yang sebenarnya. Tapi masak iya aku mau bohong, nanti juga bakalan ketahuan. Nggak ada manfaatnya juga. “Gus Arkan, Mbak.”
Respon Mbak Ami tidak sesuai dugaanku. Jika aku pikir dia akan berkata ‘ciye’, ternyata dia hanya menatapku dengan mata melotot. Aneh. “Kamu serius? Alhamdulillah. Akhirnya bentar lagi kamu sold out, Roy. Mbak seneng banget.”
Aku mendelik ke arahnya. Apa coba maksudnya sold out? Berlebihan sekali. “Plis deh, Mbak. Cuma suruh bikinin mie instan. Apa istimewanya coba?” Aku menghela nafas kasar. Mbak Ami aneh.
“Dengerin baik-baik ya. Selama ini Gus Arkan nggak pernah mau ngomong sama santri putri yang di sini. Bahkan sangat jarang dia berkunjung. Tapi ini Roy, semenjak kelahiran Hulya, pertemuan pertama kalian, kan? Gus Arkan sering banget main ke sini. itu pertanda baik, Roy.”
Mbak Ami senyum-senyum sendiri. Kenapa dia yang terlihat girang, aku masih merasa biasa saja. Tidak tertarik sedikitpun dengan Gus Arkan. Kang Farhan memintaku menjaga hati, maka dengan senang hati akan aku lakukan permintaannya.
“Sudah matang?”
Aku menghela nafas panjang. Belum ada dua menit Gus Arkan memintaku memenuhi perintahnya, kini dia sudah kembali. Daebak!
Aku berbalik. Menatap matanya yang tertutup kacamata bening. “Belum, Gus. Sebentar lagi, nanti biar saya antar ke depan.”