"Kadang berprasangka itu perlu, agar tidak selalu dibodohi."
//==//
Waktu sholat adalah moment tersyahdu bagiku. Apalagi ketika sujud, saat dimana aku harus meletakkan anggota tubuh paling terhormat ke tempat yang teramat rendah. Ayah, dia selalu tersemat dalam hati meski pertemuan kami hanya sebatas anganku saat berdoa. Sampai kapanpun, tidak ada yang mampu menggantikan kedudukannya. Ibu, satu nama yang menjadi tujuan akhirku. Cita-citaku hanya satu, membuatnya bahagia.
Kedua tanganku menengadah, meminta dengan segala kerendahan hati. Mengucap syukur berkali-kali. Allah telah memberikan nikmat yang tiada tara. Dengan baiknya mengenalkanku pada pesantren, Abi, Umi, teman-teman santri dan Kang Farhan yang aku harap bisa menjadi tumpuan asaku.
“Roy. Jadi pinjem jarum nggak?” tanya Mbak Ami.
Aku menoleh sambil terus melipat mukena. “Jadi, Mbak. Mana?” tanyaku saat Mbak Ami terlihat tidak membawa apapun.
Mbak Ami menunjuk ke arah lemari. Membuatku mengikuti arah telunjuknya. “Tuh, di jilbab putih kamu yang tergantung di pintu lemari,” tunjuknya. Aku mengangguk.
“Terimakasih, Mbak. Mbak mau kemana?”
Mbak Ami kini sedang memakai lotion di kedua tangannya. “Ke pasar, nemenin Umi. Kamu jangan tidur, ya. Soalnya yang pergi cuma aku sama Umi diantar Kang Rojak,” tuturnya.
Kami memang selalu punya waktu satu jam untuk istirahat. Bebas dari segala tugas apapun. Waktu itu juga bisa aku gunakan untuk melakukan hal yang aku sukai, misalnya melukis. Sore nanti acara tasyakuran khitan Zain. Demi menghambat penyebaran virus korona, maka acaranya dibuat sederhana. Tenda yang sudah berdiri dirobohkan kembali.
Tapi kali ini aku tidak melakukannya, aku sedang berusaha untuk menjadi perempuan yang mandiri. Aku mengambil jarum yang tadi sudah ditunjukkan oleh Mbak Ami. Menjahit memang pekerjaan yang sepele jika hanya dilihat, tapi saat benar-benar melakukannya akan terasa bagaimana sulitnya melakukannya.
Kang Farhan pernah bilang, “Belum pantas menikah jika perempuan itu belum bisa menjahit.” Nah sejak saat itu, aku selalu menyempatkan diri untuk mempelajarinya. Meskipun masih amatiran, setidaknya sudah ada hasil yang aku dapatkan. Meskipun hasilnya jauh dari kata bagus.
“Roya, boleh minta tolong?” Aku langsung membenarkan posisi jilbabku yang mungkin saja berantakan. Meletakkan sarung bantal yang menjadi objek eksperimenku.
Aku berbalik, Ning Nadia sudah berada di depan pintu asrama bersama Hulya dalam gendongannya. “Boleh, Ning.” Aku berjalan mendekat ke arahnya.
“Pegangin Hulya dulu ya. Mbak mau suapin Zain.”
Aku menerima Hulya dalam gendonganku. Membawanya masuk ke dalam asrama saat Ning Nadia sudah berlalu. Hulya yang kini memasuki usia tiga bulan, masih harus dijaga. Jujur saja aku takut saat menggendongnya, masih terlalu kecil. Namun ini juga menjadi ajang pembelajaran bagiku, agar saat sudah berkeluarga nanti, aku tidak kaget.
“Kok mancung? Padahal masih bayi. Emang kalo bibitnya bagus, tumbuhnya juga bagus.”
Aku menyentuh hidungku sendiri. Ya Allah, ini mah peseknya tidak karuan. Aku teringat wajah Kang Farhan. Hidungnya yang mancung, Lumayanlah untuk perbaikan keturunan. Semoga kami benar-benar berjodoh.
“Mbak Roya!” panggil Rahma. “Boleh masuk nggak?” tanyanya kemudian.
“Sini, ada perlu?”
Rahma menggeleng. “Nggak, Mbak. Nggak sengaja pas lewat di depan lihat ada Hulya, jadi pengen mampir. Ini lucu banget sih, Mbak,” tunjuk Rahma ke arah pipi Hulya. Dia mencubit pipi Hulya.
“Iya, lucu. Gemesin,” balasku.
Rahma duduk di sebelah kanan Hulya. Masih dengan tangan menyentuh pipi dan hidung Hulya. Aku mengambil tisu, mengusap keringat di kening Hulya. Meski belum mampu tengkurap, pergerakan ke kanan dan ke kiri membuat badan Hulya cepat berkeringat.
“Mbak, udah cocok loh,” ujar Rahma.
Aku tertawa. “Cocok? Jadi tukang lap keringat?”