“Jika sudah cinta, hanya ada kata percaya dalam hidupku.”
//==//
Dering panggilan ponsel berkali-kali terdengar. Tanpa melihat ke layar, aku sudah tahu siapa pemanggilnya. Tidak sekarang, aku masih harus melaporkan gelisahku pada sang pendengar setia. Tuhan semesta alam. Allah. Dengan kedua tangan menangkup, tangisku semakin pecah. Belum sempat mengucap doa, hanya mengingat hal-hal yang aku dengar hari ini.
Aku masih diam dalam isakan. Tidak ada yang mampu aku ucapkan sekarang. Allah juga tidak perlu mendengarku memohon, karena dengan sendirinya Allah akan tahu kesedihanku. Bayangan Kang Farhan yang manis dan ramah membuatku semakin terisak. Akankah aku akan benar-benar kehilangannya sekarang? Entahlah.
Terdengar suara pintu terbuka. Aku menyudahi ritual wajibku. Mengusap pipiku yang sudah basah oleh air mata. Melipat mukena lajuran bermotif bunga yang baru saja aku kenakan. Mbak Ami masuk ke asrama, meletakkan semangkuk bubur kacang hijau di atas meja kecil di ujung kamar.
“Bunyi terus tuh hapenya,” tutur Mbak Ami.
“Iya, Mbak,” jawabku singkat.
Aku meraih ponsel, membawanya ke atas kasur lantai bersamaku. Sembilan panggilan tak terjawab dan tiga chat Kang Farhan berada di deretan teratas. Aku menghela nafas sejenak. Menyiapkan kekuatan untuk mengetahui sebuah kenyataan. Segala kemungkinan yang mungkin saja terjadi, membuatku berkali-kali mengucap basmalah.
Mr. Rois
Kang baru tahu berita ini dari kamu, Ya. sebelumnya Kang benar-benar tidak tahu. Abi juga tidak bilang apa-apa. Entah siapa yang menyebar gosip ini. yang jelas, kamu jangan langsung percaya.
Mr. Rois
Sejak perkenalan tanpa sengaja kita, Kang sudah menaruh perhatian karena kebaikan kamu, Ya. sebenarnya Kang tidak perlu mengungkit ini, tapi Kang perlu meyakinkan kamu. Kamu perempuan terbaik yang pernah kang temui. Makanya dengan sepenuh hati, Kang berusaha memperjuangkan kamu.
Mr. Rois
Bagi Kang, kamu tetap yang terbaik. Tidak peduli dengan yang lain. Jangan pernah bandingkan kamu dengan mereka, karena kamu masih terlalu istimewa, Ya. Kang akan tunggu panggilan Abi. Semoga ini hanya kabar burung. Berdoa terus, Ya. Kang butuh doa kamu.
Aku menghela nafas panjang. Hatiku menerima penjelasannya, tapi logikaku menolak percaya. Terlalu banyak kemungkinan masuk akal yang lebih mengarah pada kenyatan pahit ini. Tapi aku tetap harus mempercayai Kang Farhan. Dia butuh dukunganku. Perjuangannya selama ini harusnya tidak mudah membuatku goyah hanya karena gossip.
“Roy. Makan yuk!” ajak Mbak Ami.
Aku menoleh sekilas. “Nggak laper, Mbak. Duluan aja nggak apa-apa,” jawabku datar. Semenjak mendengar berita mencengangkan hari ini, nafsu makanku langsung menguap. Padahal biasanya waktu makan adalah momen termenyenangkan bagiku.
“Kamu sakit, Roy? Tumben nggak mau diajak makan.”
Aku menggeleng. “Nggak, Mbak. Belum laper aja, Mbak. Duluan, gih,” tuturku kemudian.
“Nanti malam kita jaga di ndalem. Abi sekeluarga mau keluar. Kamu bisa, kan?” tanya Mbak Ami. Aku menangkap nada kekhawatiran di dalam ucapannya.
“Mereka berangkat jam berapa, Mbak?” Aku sudah selesai melipat mukena.
“Jam empat sore, Roy. Kita kesananya abis maghrib sekalian. Lumayan sekali-kali bisa nonton tv.” Mbak Ami tersenyum lebar. Maklum saja, tinggal di pesantren membuat kami jarang sekali bahkan bisa dibilang tidak pernah melihat siaran televisi.
“Seneng nih bisa nonton tv,” ledekku. Mbak Ami malah semakin bersemangat mendengarnya.
“Oh ya betul. Aji mumpung, Roy. Gunakan kesempatan sebaik mungkin. Kapan lagi coba?” tanya Mbak Ami dengan menaik turunkan alisnya.
Mbak Ami membuatku tertawa. Inilah sukanya saat di pesantren, dalam keadaan sedihpun ada saja hiburan tanpa perlu susah menceritakan masalahku ke orang lain. Teman memang selalu menjadi sandaran yang tepat.
Ponsel yang sedari tadi aku pegang berdering. Nama Kang Farhan terpampang dengan layar berkedip. Sepertinya Kang Farhan tahu aku sudah membaca chat-nya, tapi tak kunjung memberikan balasan. Mbak Ami masih asyik menyantap makanannya, membuatku ragu untuk mengangkat panggilan Kang Farhan. Panggilan pertama harus kandas karena Mbak Ami masih di dalam asrama.
Kang Farhan kembali menelpon. Aku menghela nafas panjang. Dengan mata terpejam, aku mengangkat panggilannya. Dua hal yang aku khawatirkan, kenyataan dan keberadaan Mbak Ami.
“Waalaikumussalam,” jawabku santai. Aku melirik ke arah Mbak Ami.