SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #11

10. Ami's Problem

Seseorang yang mampu menjadi sandaran selain Ayah dan Ibu, dialah teman.”

//===//

Mbak Ami masih fokus menatap layar ponselnya. Sejak setengah jam yang lalu, dia duduk bersandar di dinding. Keningnya sesekali berkerut dan berkali-kali mendesah kecewa. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Sepertinya Mbak Ami sedang bermasalah. Aku tidak akan menanyakannya. Menunggu Mbak Ami menceritakan sendiri masalahnya itu lebih baik.

Sampai satu jam kemudian, Mbak Ami masih belum bergeser dari posisinya. Membuatku semakin khawatir akan keadaannya. Saat ini, aku masih bergelut dengan tas rajut yang aku buat. Meski bentuknya jauh dari kata sempurna, aku sangat menyukainya. Setidaknya ada hal baru yang aku lakukan setiap harinya.

“Mbak Ami,” panggilku saat Mbak Ami masih betah diam dalam posisinya.

Mbak Ami menoleh sesaat, lalu kembali menatap layar ponselnya. Aku mendekat, mengambil posisi di sebelah Mbak Ami. Menyandarkan punggungku di dinding. Seketika Mbak Ami menyandarkan kepalanya di bahuku. Awalnya hanya diam, tapi lama-lama terdengar isakan.

“Mbak. Kenapa? Ada masalah?” Aku menepuk bahu Mbak Ami, mencoba memberi kekuatan.

“Kakakku, Roy...” Dia berhenti sejenak. Tangisnya membuatnya kesulitan berkata. “Kakakku ditahan polisi, Roy,” lanjutnya kemudian.

Aku tersentak mendengar ucapannya. Setahuku yang berhubungan dengan kepolisian itu hal yang berbau kriminal. Apalagi jika sampai ditahan. Mungkinkah kakaknya Mbak Ami terlibat dalam sebuah aksi kejahatan? Bisa jadi.

“Kenapa bisa, Mbak? salah paham?” tanyaku mencoba untuk tidak menghakimi. Aku tahu dalam keadaan seperti ini, Mbak Ami butuh dukungan.

“Kasus perampokan. Belum jelas apakah kakakku terlibat atau hanya ikut tertangkap. Yang jelas sekarang dia di tahan di Bandung.” Mbak Ami masih terisak di bahuku.

Aku menoleh ke arahnya. Menepuk bahunya pelan. “Belum jelas kan, Mbak. bisa aja salah tangkap. Berdoa terus, Mbak.”

Mbak Ami menegakkan tubuhnya. Menengadahkan kepalanya ke atas. Matanya terpejam sesaat, lalu kembali terbuka. “Bener kata kamu. Tapi kasihan Ibu sama Ayah, mereka pasti sedih kalau tahu masalah ini.”

“Tenangkan mereka, Mbak. Cuma Mbak yang bisa membuat mereka tidak larut dalam kesedihan.” Aku memberikan senyum tulus. Semoga bisa menenangkan.

Mbak Ami tersenyum hambar. Membuatku seketika menoleh. “Tapi imej tentang keluargaku, Ibu sama Ayah pasti sedih karena tetangga akan menggunjing keluarga kami, Roy,” keluh Mbak Ami. Aku mengerti posisinya sekarang. Tapi apa yang bisa dilakukan selain berdoa? Tidak ada.

“Kita tidak bisa membatasi pandangan orang terhadap kita, Mbak. Mereka bebas memandang kita dari sudut manapun. Yang perlu kita lakukan adalah memperbaiki diri kita, membuatnya menjadi pribadi yang berakhlak baik. Itu saja, Mbak.” Aku berusaha menasehati dengan kalimat yang ringan. Tidak ingin membuatnya semakin merasa terpojokkan.

“Kalau Umi sama Abi tahu, bagaiaman tanggapan mereka tentang aku, Roy? Aku malu.” Mbak Ami masih belum bisa tenang. Beragam kekhawatiran masih mengganggu pikirannya.

Aku beralih menghadapnya. “Mereka akan baik-baik saja, Mbak. Abi dan Umi adalah orang paling bijaksana. Mbak jelas lebih paham dari pada aku. Mereka nggak bakalan anggap Mbak rendah. Posisi manusia itu bukan tentang keluarganya, kan? Tapi dirinya sendiri. Mbak sama kakaknya Mbak, jelas beda. Dan siapapun nggak akan menyamakan. Mungkin saat ini, kalo emang benar dia bersalah. Allah sedang menyadarkannya, memberitahunya jika perbuatan yang dilakukannya salah. Keluarga Mbak lagi diminta untuk bersabar, dan aku sebagai orang lain, juga diminta untuk berprasangka baik. Ada hikmahnya, kan?”

Mbak Ami mengangguk. Dia kembali mengambil nafas dalam. Tidak ada kata yang keluar setelah nasihatku. Aku tidak akan memaksanya untuk mengikutiku, setidaknya dia sudah tenang. Itu lebih baik.

Lihat selengkapnya