SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #12

11. Chili Instant Noodles

“Kadang yang tidak kita harapkan malah selalu datang.”

//==//

Liburan pesantren membuatku rindu akan masa-masa mengaji. Kegiatan madrasah diniyah yang dilaksanakan malam hari. Selepas isya, semua santri bersiap-siap untuk mengikuti kelas masing-masing. Meskipun aku sudah lulus, aku masih mengikuti kelas untuk beberapa mata pelajaran. Malam ini yang aku ikuti adalah mata pelajaran nahwu. Sebenarnya nahwu ini sudah sering aku pelajari saat masih kuliah, tapi entah kenapa aku masih suka mengulangnya.

Aku sudah duduk di barisan paling belakang. Menghadap ke arah papan tulis yang ada di depan. Semua santri yang mengikuti kelas ini me-nadzom-kan bait alfiyah. Ilmu nahwu sering dikaitkan dengan kehidupan manusia, terutama santri yang memang sangat memahaminya. Dan idhofah  yang dibaca ini termasuk bab yang paling masyhur karena dianalogikan dengan cinta.

Nunan talil i’roba autanwina mimma tudzhifuhdhif katurisina.”

Semua anggota kelas lima madrasah atau kelas alfiyah sedang me-nadzomkan bait pertama bab idhofah. Membuat suaranya menggema memenuhi ruangan kelas. Setelah beberapa saat, semua santri terdiam karena ustadz yang akan mengajar kelas ini sudah akan memasuki ruangan.

Aku masih menunduk, namun seketika mendongak saat mendengar salam dari ustadz yang akan mengajar kelas ini. Harusnya Gus Al yang mengisi kelas, tapi kenapa malah Kang Farhan yang duduk di balik meja ustadz.

“Berhubung Pak Alfin sedang ada keperluan, saya diutus oleh beliau untuk menggantikannya,” ujar Kang Farhan. Saat di dalam kelas, ustadz yang mengajar akan dipanggil Pak. “Malam ini kita akan membahas babul idhofah. Benar?”

“Benar, Pak,” jawab semua santri secara serentak.

Setelah mendiktekan arti perkata tiga bait pertama bab idhofah menggunakan Bahasa Jawa, Kang Farhan mulai menjelaskan maksud dari tiga bait itu. Aku berusaha mendengarkan dengan seksama, namun fokusku teralih saat Kang Farhan mencuri pandang ke arahku.

“Ketika ada isim yang dimudhofkan kepada kalimat lain, maka tanwin atau nun yang menjadi tanda i’robnya tasniyah atau jamak harus dibuang. Dan mudhof ilaih harus di-jer-kan.” Kang Farhan mengambil nafas sejenak. “Sama seperti ketika ada dua orang yang menikah. Suami harus melepaskan keegoisannya, yang dulunya suka seenaknya saat masih sendiri. Kini harus bisa mengatur waktu, karena ada seseorang yang ada dalam tanggungannya. Begitu juga istri, dia harus membaktikan dirinya untuk suami. Bahasa simpelnya taat, makanya disini mudhof ilaih harus dijerkan, yang artinya derajatnya turun dari yang semula rofa menjadi khafd atau jer.”

Setelah penjelasan itu, aku tahu ada banyak hal yang perlu disiapkan sebelum membina rumah tangga. Mungkin Bahasa taat sepertinya mudah untuk dipahami, tapi sayangnya terlalu sulit untuk dipraktekan. Aku ingat saat ibu memintaku untuk menetap di rumah, nyatanya aku masih memilih egoku untuk tidak mengikutinya. Sesulit itu, apalagi dengan suami. Orang yang akan membersamaiku selamanya, dan dia adalah orang lain. Bukan ibu atau ayah yang akan dengan rela menyerahkan seluruh hidupnya untukku.

Kang Farhan tersenyum saat mengatakannya, kedua matanya mencuri pandang ke arahku. Aku langsung menunduk, aku tidak mau terlibat adu pandang di tempat umum seperti ini. Catatan di buku tulis yang belum lengkap membuatku bisa mengalihkan fokusku.

Sampai akhir pembelajaran, Kang Farhan masih sesekali melempar senyum ke arahku. Hanya senyum tipis, mungkin hanya aku yang mampu melihatnya. Karena kami tahu perasaan masing-masing hanya dengan saling pandang.

“Roy. Masih lama nggak?” tanya Mbak Ami yang masih duduk di sebelahku.

“Bentar, Mbak. dikit lagi,” jawabku tanpa menoleh. Coretan yang ditulis Kang Farhan masih ada beberapa yang belum aku tulis.

Mbak menghela nafas panjang. “Ngantuk, Roy,” keluhnya sambil meletakkan kepalanya di meja.

“Duluan aja,” ujarku santai.

“Nggak mau.”

Aku menoleh ke arahnya yang malah sudah memejamkan mata, membuatku kembali menulis. Hanya butuh waktu lima menit catatan itu selesai. Mbak Ami masih tertidur dengan kepala menyandar di atas meja. Bahkan nafasnya sudah teratur.

“Mbak. Bangun.”

Mbak Ami masih diam. Aku menepuk bahunya. “Mbak, bangun!”

Mbak Ami menggeliat. Sambil menegakkan tubuhnya, perlahan matanya terbuka. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Lalu terpekik kaget saat hanya melihatku di ruangan ini.

Lihat selengkapnya