SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #13

12. Birthday Fried Rice

“Semua perlu intro. Tidak bisa langsung naik reff.”

//==//

Hari terakhir liburan pesantren membuatku gelisah. Pasalnya Kang Farhan belum memberi kepastian tentang kabar perjodohannya. Meskipun Kang Farhan berkali-kali meyakinkan, tetap saja aku masih belum tenang. Terlalu banyak kemungkinan yang akan terjadi. Meski kadang berada dalam ketidakpastian membuatku menyimpan sebuah harapan.

Saat kegiatan pesantren mulai aktif, aku tidak akan bisa menanyakan langsung bagaimana keputusan final kabar perjodohan Kang Farhan. Padahal keputusan itu sangat penting karena menentukan kelangsungan hubunganku dengannya. Semoga semuanya segera jelas dan tidak mengecewakan.

Mbak Ami sedang meringkuk di atas tempat tidur. Demamnya semalam baru saja turun. Setelah meminum obat, dia kembali tidur. Aku sedang berada di serambi asrama. Menyuapi Hulya yang berada di atas kereta bayi.

“Buka mulutnya.”

Aku menyuapi bubur ke mulut Hulya. Dengan lahap dia menerima suapanku. Semangkuk kecil bubur telah habis, kini giliran minum air putih.

“Mbak Roya!”

Dalem,” jawabku pelan. Aku menoleh ke samping, mendapati Rifa sudah duduk di sampingku.

Momong ya, Mbak?” tanyanya sabil memandang Hulya yang tersenyum sendiri.

Aku mengangguk. “Iya, kamu nggak setoran?” tanyaku saat melihatnya berada di sini padahal ini waktunya setoran hafalan.

“Nggak, Mbak. Umi sedang sakit, jadi libur,” jawabnya riang. Aku menyipit memandang ekspresinya.

“Kok seneng?”

Rifa memasang senyum salah tingkah. “Kan libur, Mbak.”

Aku menggeleng dramatis. “Mbak kira kamu seneng Umi sakit,” jawabku jujur. Rifa langsung menggeleng cepat. Mungkin tidak terima dengan tuduhanku.

“Ya nggak lah, Mbak. Aku nggak gitu lah. Biar kadang males ngaji, Umi tetap terbaik buat aku. Beliau sudah seperti ibuku, Mbak. Beneran,” ucapnya meyakinkan. Aku tersenyum, sambil mengelus lengan Hulya.

Aku tertawa melihat wajahnya yang langsung berubah masam. Semua santri disini memang menganggap Umi dan Abi sebagai orang tua sendiri. Rasa patuh kami kepada mereka melebihi kepada kedua orang tua kami.

“Bagus lah kalau gitu. Dulu surga kita berada di tangan keridhoan orang tua. Setelah menjadi santri, surga kita berada di tangan keridhoan Guru. Setelah menikah, surga kita berada di keridhoan suami. Sebelum sampai step 3, kita harus bisa menyelesaikan step 2. Meraih keridhoan guru, yakni Abi dan Umi.”

Rifa menganggukkan kepala. Setelahnya dia menciumi wajah Hulya yang tersenyum saat ada yang mendekatinya. Hulya memang suka keramaian. Dia akan diam saja saat tidak melihat seorangpun di sekelilingnya, bahkan kadang langsung menangis. Membuatku harus selalu bersuara saat berada di dekatnya.

Ting! Tong!

Bel berbunyi, aku membawa Hulya kembali ke ndalem. Melewati depan asrama yang terdapat beberapa santri yang sedang nderes. Saat sampai di dapur, Ning Nadia sudah menunggu di depan meja makan.

“Adek!” panggil Ning Nadia. Dia mengambil Hulya dari kereta bayi, membawanya ke dalam pelukannya. “Makasih. Roy,” tuturnya dengan wajah sumringah.

Aku mengangguk. “Nggih, Ning. Saya permisi,” pamitku sambil mundur beberapa langkah.

“Kamu bisa bikin kue?” tanya Ning Nadia masih dalam posisi menggendong Hulya.

Lihat selengkapnya