“Belajar dari pengalaman itu harus. Tapi bukan berarti menghukumi semuanya sama secara merata.”
//==//
Aku merebahkan diri di atas kasur lantai. Menutup wajah dengan kedua tangan. Aku tidak habis pikir dengan sikap Gus Arkan. Pernyataan sepihaknya yang mengatakan aku calon istrinya, membuatku tidak nyaman. Aku pernah berkenalan dengan orang yang semacam Gus Arkan. Sayangnya dia player, makanya aku merasa Gus Arkan juga seperti itu.
Di luar itu, aku masih memiliki Kang Farhan yang memang aku harapkan untuk menjadi pendampingku. Meski secara kasat mata, Gus Arkan menang banyak. Dia memiliki paras tampan, nasab bagus dan masa depan cerah. Tapi sayangnya, aku tidak hanya memikirkan hal itu. Aku butuh pria yang bisa menenangkan dan sejalan dengan pola pikirku, dan hanya Kang Farhan orangnya.
“Mbak,” panggilku pada Mbak Ami yang masih meringkuk dibalik selimut. Wajah pucatnya menyembul di ujungnya.
Mbak Ami membuka mata. “Hem,” gumamnya pelan.
Dia tidak bergerak sedikitpun. Aku meletakkan punggung tanganku di dahinya. Merasakan suhu tubuh Mbak Ami yang sudah mulai menurun. “Masih dingin?” Mbak Ami hanya mengedipkan matanya perlahan.
“Lumayan,” jawabnya sambil menyibak selimut. Menurunkannya menjadi setengah badan. “Kamu abis ngapain? Capek banget keliatannya,” tanyanya masih dengan suara lemah.
Aku menghembuskan nafas kasar. Teringat wajah Gus Arkan yang beberapa saat lalu membuatku harus menahan kesabaran. Mengelus dada setiap saat. “Bikin kue ulang tahun dari nasi,” jawabku ketus. Mbak Ami menatapku bingung. Kedua alisnya bertaut.
“Apa sih?” tanyanya tidak mengerti.
Aku masih dalam posisi berbaring dengan wajah menghadap ke atas. Pikiranku menerawang kejadian beberapa saat yang lalu. “Awalnya Ning Nadia minta buatin kue untuk ulang tahun. Pas aku udah oke, diralat. Katanya saudaranya itu minta ganti sama nasi goreng. Awalnya aku masih oke aja, Mbak.” Aku menghentikan ucapanku. Menarik nafas dalam sebelum melanjutkan cerita.
“Terus?” tanya Mbak Ami tidak sabaran. Kalau saja Mbak Ami tidak sakit, pasti aku tidak akan sendirian tadi. Sudahlah.
“Pas udah mulai eksekusi, Gus Arkan dateng tuh, Mbak. Dia bawa nasi pake wadah yang besar itu. Aku bukannya syok sama nasinya, tapi syok sama yang bawa,” ucapku dengan nada datar. Aku malas mengingatnya.
“Masalahnya?” tanya Mbak Ami to the point.
Aku memiringkan badan. Menghadap ke arah Mbak Ami yang matanya sudah membuka sempurna. Tidak ada kedipan pelan sekarang, yang ada hanya raut wajah penasaran. “Masalahnya Gus Arkan bantuin masak sampe selesai, Mbak!” keluhku histeris. Mbak Ami terlihat biasa saja. Tidak ada tanda-tanda dia terkejut dengan ucapanku.
“Oh itu,” ujarnya santai. Membuatku melongo dengan jawaban singkatnya. Aku kembali meletakkan punggung tanganku di keningnya. Mengecek suhu badannya yang mungkin saja kembali naik.
“Nggak panas. Kok aneh sih,” gumamku pelan. Dia langsung menurunkan tanganku dari keningnya.
“Apa sih, Roy,” keluh Mbak Ami tidak terima.
“Mbak Ami aneh, masak aku cerita jawabannya cuma ‘oh’. Biasanya Mbak yang paling heboh, apalagi ini pelakunya Gus Arkan.” Aku kembali menghadap langit-langit kamar. Tiba-tiba membayangkan wajah Kang Farhan yang tersenyum manis ke arahku. Ah, jadi rindu.
Mbak Ami mendengus. “Mbak kan udah pernah bilang kalau Gus Arkan itu emang suka sama kamu. Makanya Mbak nggak kaget kalo kamu cerita tentang sikap dia yang menurut kamu aneh. Lagian kenapa sih kamu nggak mau sama dia, kurang apa coba?” tanyanya dengan wajah cemberut. Mungkin dia geregetan yang melihatku selalu acuh dengan sikap Gus Arkan yang kelewat jujur kasih kodenya.
Aku diam sejenak. Mencari alasan yang masuk akal untuk menolak pandangan Mbak Ami tentang keistimewaan Gus Arkan. Tidak mungkin aku mengatakan yang sejujurnya, tentang Kang Farhan yang sudah masuk ke hatiku. Rasanya tidak ada lagi yang bisa menggantikannya.
“Kurang apa ya, Mbak?” Aku menerawang. Berpikir tentang kekurangan Gus Arkan.
Mbak Ami menghela nafas panjang. “Kebanyakan mikir kamu. Roy,” ujarnya dengan wajah sebal.