“Saat takdir membawaku kembali bertemu dengannya, aku bisa apa?”
//==//
Setelah berpamitan dengan Abi dan Umi, aku bergegas kembali ke asrama. Mengemasi barang-barang yang perlu dibawa. Hanya sepasang baju ganti dan tas kecil. Pikiranku sudah tidak tenang, membayangkan Dafa yang ketakutan karena melihat ibu dibawa kerumah sakit. Tanpa berdandan, aku segera berjalan menuju pintu keluar.
“Mbak. Pulang dulu ya,” pamitku pada Mbak Ami yang baru saja keluar dari kamar mandi. Semenjak mengetahui kabar ibu sakit, Mbak Ami langsung berusaha untuk terlihat sehat. Dia tidak ingin melihatku khawatir karena meninggalkannya dalam keadaan sakit.
“Hati-hati, Roy. Salam buat ibu kamu,” balas Mbak Ami. Aku mengangguk paham.
Aku bergegas keluar. Berjalan melewati beberapa santri yang tersenyum melihatku. Ada beberapa yang menatapku heran karena aku membawa masker. Aku hanya mengangguk sopan pada mereka. Tidak ada waktu untuk menjelaskan keadaanku sekarang.
Jarak yang ditempuh dari pesantren menuju halte sekitar dua ratus meter. Butuh waktu sepuluh menit bagiku untuk bisa sampai ke halte. Untung saja hari masih siang, kemungkinan untuk mendapatkan bus yang menuju rumahku masih ada.
“Mau kemana, Mbak?” tanya seorang ibu membawa bakul dalam gendongannya. Sebelah kanannya menenteng kantong kresek berwarna hitam.
Aku tersenyum. “Pulang. Bu,” jawabku ramah. “Ibu mau kemana?”
“Pulang juga, habis dari pasar.” Ibu di sebelahku ini menunjukan barang bawaannya yang ada di kantong kresek, membuatku mengangguk paham.
Kami mengobrol sambil menunggu bus yang tak kunjung datang. Setengah jam kemudian, bus yang ditunggu ibu pembawa bakul datang. Si ibu langsung menaiki bus dan melambai ke arahku. Kini aku sendirian di halte. Peraturan pemerintah yang membatasi interaksi sosial di masa pandemic membuat halte ini sepi.
Jika biasanya jam pulang sekolah halte dipenuhi siswa sekolah menengah, kini halte ini hanya diisi oleh beberapa orang dewasa. Mereka mengenakan protocol kesehatan lengkap demi menjaga diri dan mematuhi aturan pemerintah.
Sampai satu setengah jam berlalu, masih belum ada tanda-tanda bus akan datang. Masa pandemic benar-benar berpengaruh terhadap beberapa lini kehidupan, terutama ekonomi. Langit juga sudah mulai menghitam, aku tidak mungkin kembali ke pesantren. Bayangan Dafa yang sendirian membuatku harus tetap meneguhkan hatiku. Gerimis mulai turun, perlahan berganti dengan hujan deras. Aku menghela nafas pannjang. Berharap ada pertongan, demi adik dan ibuku. Akhirnya terbersit dalam pikiranku untuk memesan ojek online.
“Mau kemana?” tanya seseorang dari dalam mobil di hadapanku. Aku baru saja akan menekan tombol ‘order’. Mataku menyipit melihat ke arah dalam mobil. Wajah yang aku kenali tengah menatapku dengan tanda tanya.
“Pulang,” jawabku singkat. Tidak berniat membuka obrolan dengannya. Meskipun aku tidak nyaman dengan Gus Arkan, tapi aku tetap gugup saat berbicara dengannya. Aneh sekali kan’ aku.
“Hujan. Saya antar?” tawarnya masih dengan posisi menundukkan kepalanya. Wajahnya hampir bersentuhan dengan kemudi mobilnya.
Aku menggeleng. “Tidak, Gus. Terimakasih,” tolakku halus. Namun sepertinya Gus Arkan tidak mendengar karena dia malah turun dari mobilnya. Ia berlari saat tubuhnya tidak terlindungi dari guyuran hujan yang semakin deras.
“Kamu mau naik apa?” Dia sudah berada di sebelahku. Kami masih dalam kondisi menjaga jarak, sesuai himbauan pemerintah.
Aku tersenyum kecut. “Bus,” jawabku singkat. Pasti Gus Arkan akan menertawakan jawabanku. Masa pandemic seperti sekarang ini transportasi umum memang minim operasi.
“Mending saya antar, sudah menjelang sore. Apalagi hari ini minggu, sepertinya tidak akan ada yang lewat lagi.” Gus Arkan masih berusaha membujukku. Sayangnya aku masih teguh pendirian. Masih berniat untuk menunggu sampai bus sampai.
Aku diam, tidak ingin menanggapi ucapannya. Semakin aku menolak, Gus Arkan akan semakin semangat membujukku. Dia masih tetap berdiri tak jauh dariku. Membuat kami seperti sepasang kekasih yang sedang menunggu hujan reda di halte.
Hujan semakin deras, mendung berwarna terang pertanda hujan berdurasi lebih panjang dari biasanya. Aku menghela nafas panjang. Bayangan Dafa yang ketakutan dan ibu yang meringkuk di tempat tidur rumah sakit membuatku gelisah.
Gus Arkan berjalan menjauh, tangan kanannya membawa ponsel ke telinganya. Aku tidak peduli, tidak ada urusannya denganku. Hujan deras masih mengguyur jalanan. Entah kapan akan berhenti. Harusnya bus tidak terpengaruh terhadap hujan. Mungkin karena dampak pandemic, sopirnya menjadi berpikir ulang untuk beroperasi.