“Aku bertahan karena harapan, dan kamu menahan karena ketidaksiapan.”
//==//
Jawaban yang aku berikan ternyata tidak membuat Dafa berhenti bertanya. Tidak hanya itu, dia juga bilang kalau ingin seperti teman-temannya yang punya kakak laki-laki. Katanya supaya bisa membuatkan layang-layang untuknya. Dan saat musim hujan, bisa menemaninya bermain catur di rumah.
Gus Arkan juga masih enggan untuk pulang. Padahal waktu menunjukan pukul tujuh malam. Aku tidak mungkin mengusirnya, apalagi dia juga belum istirahat sejak mengantarku kesini. Tapi di rumah sakit ini, tidak ada tempat untuk rebahan. Tidak ada sofa di ruang rawat ibu. Yang ada hanya kasur lantai yang dibawa Bude Sri dari rumah.
“Mas Arkan tidur sama aku ya, Kak,” tawar Dafa yang baru datang dengan Gus Arkan. Mereka baru saja keluar membeli minuman dingin.
Aku menoleh ke arah Dafa yang berdiri bersisian dengan Gus Arkan. “Nggak, Dek. Mas Arkannya kan punya rumah. Dia harus pulang.” Aku menahan nafas saat menyebut nama Gus Arkan dengan embel-embel ‘Mas’. Jangan tanyakan wajah Gus Arkan yang langsung sumringah saat mendengarnya.
“Tapi ini udah malem, Kak. Kasihan kalo nanti kehujanan,” bujuknya lagi. Aku menggeleng pelan. Adikku ini sebenarnya sulit dekat dengan orang baru, apalagi semenjak ayah meninggal. Tapi kali ini, entah bagaimana ceritanya. Dia sendiri yang menahan orang baru untuk tidak pergi dari sisinya.
“Dafa,” panggilku sambil berjalan mendekatinya. “Mas Arkan bawa mobil, jadi nggak mungkin kehujanan. Kecuali kalo atap mobilnya bocor. Iya, kan?” tanyaku sambil menunduk di hadapannya.
Dafa adikku satu-satunya. Setelah ditinggal ayah satu tahun lalu, sikapnya menjadi penurut. Dia tidak pernah lagi marah saat ibu melarangnya bermain terlalu jauh. Selalu menurut saat ibu memintanya pulang ketika bermain layang-layang.
Dafa masih bersikukuh meminta agar aku mengizinkan Gus Arkan menginap di sini. Bukannya apa-apa, Gus Arkan pasti sudah sangat kelelahan. Tidak ada tempat di ruangan ini untuknya beristirahat. Apalagi dia juga bukan anggota keluargaku. Dan yang jelas, Gus Arkan tidak akan mau menginap di atas kasur lantai bawaan Bude ini.
“Dafa.” Gus Arkan membalik tubuh Dafa menghadapnya. Memegang kedua bahu Dafa. Matanya menatap lurus Dafa yang juga menghadapnya. “Mas Arkan harus pulang. Soalnya tadi izinnya nggak nginep sama ibunya Mas Arkan. Besok kalo senggang, Mas Arkan mampir bawain kamu ayam goreng kentaki. Mau, kan?” tanyanya sambil tersenyum ke arah Dafa.
Aku pikir Dafa akan mengangguk. Nyatanya tidak. Dia malah meminta sesuatu yang jelas membuatku melotot ke arahnya.
“Tapi Mas Arkan harus main ke rumah kalau ibu sudah sembuh. Nanti bikinin Dafa layang-layang,” jawab Dafa sambil memasang senyum penuh harap. Mengabaikan tawaran ayam goreng kentaki kesukaannya.
Gus Arkan mengangguk semangat. “Anak baik,” tuturnya sambil sambil mengusap puncak kepala Dafa. “Jaga kakak sama ibu ya. Kamu laki-laki, harus kuat.”
Dafa langsung mengangguk. Kini Gus Arkan berjalan mendekati ibu, duduk di kursi samping ranjang tidur. “Mohon maaf sebelumnya, saya pamit dulu, Bu. Semoga ibu lekas sembuh.” Kedua tangannya ditangkupkan ke dada. Senyum ramahnya tidak pernah pudar dari wajahnya.