“Yang aku sukai, orang tua tidak suka. Pilih cinta atau restu?”
//==//
Aku kembali ke ruang rawat ibu dengan perasaan dongkol. Masih marah karena penolakan tidak langsung yang diberikan Kang Farhan. Apa susahnya baginya hanya untuk datang dan memperkanalkan diri. Aku hanya ingin merasa benar-benar dimiliki, itu saja.
Pintu ruangan yang terbuka membuatku bergegas masuk. Di sebelah ranjang tidur ibu, dua orang perawat sedang berdiri. Satu diantaranya memeriksa tekanan darah ibu, dan yang satunya membawa semacam kereta dorong yang berisi banyak obat. Aku mendekati keduanya, berdiri di sseberang dua perawat itu.
“Mbak. Ini tolong diminumkan,” pinta perawat yang mengenakan kacamata.
“Iya. Kondisi ibuk saya bagaimana, Mbak?” tanyaku saat perawat berkacamata itu melepas alat pendeteksi tekanan darah dari lengan bagian atas ibu.
“Tekanan darahnya normal, Mbak. Selama tidak ada yang memicu emosinya, kondisi ibu anda akan segera pulih.” Aku mengangguk paham. Lalu menggumamkan terimakasih saat perawat itu akan meninggalkan ruang rawat ibu.
“Apa yang Ibuk rasain?” tanyaku sambil duduk di sebelah ranjang ibu.
“Ibuk baik. Kamu lihat, kan?” Ibu memamerkan senyum teduhnya. Membuatku menarik nafas panjang. Ibu memang selalu menyembunyikan rasa sakitnya. Selalu ingin terlihat bahagia di depan anak-anaknya.
“Ibuk nggak pernah jujur kalo lagi sakit. Ibuk selalu mau terlihat sehat di depan Roya dan Dafa. Iya, kan?” Ibu masih menatapku dengan senyuman. Betapa aku sangat menyayanginya.
“Karena yang bikin ibu ngerasa sakit itu bukan penyakit ini.” Tangan ibu menunjuk jantungnya, lalu menangkupkannya ke wajahku. “Tapi ini. Ibuk akan sakit kalau lihat kamu sama Dafa sedih,” lanjutnya masih dengan wajah tersenyum.
Tiba-tiba air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku mendongak, menghalau agar tidak ada air mata yang terjun ke pipiku. Mengedipkannya berkali-kali. “Roya sedih kalau Ibuk sakit. Apalagi Roya masih belum bisa jaga Ibuk sama Dafa.”
“Ibu nggak mau kamu jaga ibu, Nduk. Karena kamu anak ibu. Tetep ibu yang harus jaga kamu. Kamu hanya perlu menemani sampai hari tua ibu. Mau, kan?”
Aku mengangguk cepat. Tidak mungkin aku menolak keinginannya. Orang yang telah mengerahkan seluruh hidupnya untukku. Beliau tidak pernah memaksaku pulang ke rumah, karena beliau tahu, semenjak aku masuk pesantren, ada orang lain yang lebih berhak mengaturku. Mereka juga yang membuatku sangat mencintai ibu. Abi dan Umi. Restu mereka yang lebih ibu harapkan dari pada apapun.
“Mau, Buk. Roya bakalan temenin Ibuk sama Dafa. Roya janji.” Aku menggenggam tangan ibu yang sudah turun dari kedua pipiku.
“Ibu nggak mau kamu sendirian. Ibu mau ada orang yang menjaga kamu.”
Ucapan ibu membuatku menarik nafas dalam. Harusnya Kang Farhan mendengarnya. Dia harus tahu betapa ibu sudah mengharapkan agar aku segera mendapatkan pendamping.
Aku ingin mengatakan yang sebenarnya, kalau ada seseorang yang bersedia menjadi penjagaku dan sangat aku cintai. Tapi itu tidak mungkin, biar Kang Farhan sendiri yang mengatakannya. Dengan begitu ibu akan semakin percaya jika Kang Farhan benar-benar bersedia menjagaku. Bukan karena aku yang mengharapkannya.
“Roya masih bisa jaga Ibuk sendiri.” Ibu menggeleng pelan.
“Sudah waktunya, Nduk. Kita nggak tahu kapan usia berakhir. Ibu cuma ingin kalau sampai ibu pergi nanti, Dafa tidak sendirian.” Air mata ibu menetes saat mengucapkan kalimat yang terakhir diucapkan. Membuatku menggenggam erat jari ibu.
“Ibuk akan baik-baik saja. Ada Roya sama Dafa disini.”
Ibu tidak terisak. Tapi air matanya terus mengalir. Ibu melirik Dafa yang sudah meringkuk di kasur lantai. Besok hari minggu, makanya Dafa ikut menginap disini. Jika beberapa hari ke depan ibu masih harus dirawat, maka Dafa terpaksa aku titipkan di rumah Bude Sri.