“Kamu hanya datang saja aku sudah bahagia.”
//==//
Dafa sedang tertawa bahagia. Tepat di hadapannya, sekotak ayam goreng kentaki sudah tersedia. Tidak hanya itu, nasi dan sayur juga sudah siap untuk dihidangkan. Siapa lagi pelakunya jika bukan Gus Arkan. Dia yang sudah mengagetkanku dan ibu karena kedatangannya. Jarak rumah sakit dan rumahnya itu hampir tiga jam jika ditempuh dengan mobil. Dan dia sudah datang sepagi ini, saat jam besuk baru dibuka.
Aku curiga Gus Arkan tidak benar-benar pulang ke rumah. Mungkin saja dia menginap di rumah keluarganya yang berada di sini. Entahlah, yang jelas kedatangannya mengangguku. Ibu terlihat senang saat dengan akrabnya Dafa dan Gus Arkan bermain bersama. Meski ibu tidak mengatakannya, tapi rona wajahnya menunjukan hal demikian. Andaikan ibu tahu kalau Kang Farhan lebih istimewa…
“Kamu nggak makan, Nduk?” tanya ibu saat aku hanya duduk sambil memainkan ponsel.
“Nanti, Buk. Roya belum laper.” Aku kembali fokus menatap layar ponsel yang aku tunggu kedipannya. Berharap Kang Farhan segera membalas chat-ku.
“Bukannya tadi kamu keluar mau beli makanan, kan? Nah ini sudah ada banyak, malah dianggurin.” Aku menghela nafas panjang. Tidak seharusnya aku mengabaikan makanan yang sudah ada. Lagipula makanan yang ada disini juga pasti halal. Gus Arkan pasti sudah memilahnya.
“Roya makan, Buk.”
Aku turun dari kursi yang berada di sebelah ranjang ibu. Menghampiri kotak makanan yang dibawa Gus Arkan. Letaknya yang persis di depan Dafa membuatku seolah berniat menghampiri mereka.
“Mau makan ya, Kak?” Aku menoleh sambil tersenyum. Mengangguk sekilas ke arah Dafa.
“Makan yang banyak,” celetuk Gus Arkan.
Aku tidak menanggapinya. Memilih meneruskan kegiatanku menuang nasi ke piring plastik. Jika dipikir-pikir, Gus Arkan ini sangat baik. Dia rela datang jauh-jauh ke sini dan membawakan banyak makanan untuk aku dan Dafa. Padahal dia juga tahu kalau kami bukan siapa-siapa baginya. Kadang aku juga merasa bersalah karena sering berlaku tidak sopan, mengingat dia adalah dzuriyah pesantren yang mesti aku hormati.
Kini aku celingukan mencari tempat yang tepat untuk makan. Tidak mungkin aku duduk di sebelah ranjang ibu. Posisi terbaik hanya berada di bawah bersama Dafa dan Gus Arkan, tapi aku tidak mau. Aku akan merasa diperhatikan karena hanya sendirian makan. Dafa sudah menghabiskan dua potong paha ayam goreng kentakinya. Dia tidak akan mau jika diminta untuk makan lagi.
“Makan disini saja,” tawar Gus Arkan. Akal dan hatiku masih berdebat untuk menjawab iya atau tidak. Padahal hanya soal tempat makan. Ribet.
“Iya, Kak. Sini.” Dafa menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Membuatku akhirnya mengalah dan mengikuti kemauannya.
Biasanya aku makan dengan cepat, tapi entah mengapa tidak untuk kali ini. Rasanya makanan yang ada di piringku tidak kunjung habis. Mungkin rasa tidak nyaman karena ada orang lain di sekitarku berpengaruh terhadap nafsu makanku. Berlebihan sekali.
“Mas Arkan nggak ikutan makan?”
Aku berhenti mengunyah saat mendengar pertanyaan Dafa. Sejak datang, aku memang belum melihatnya makan. Dia hanya menemani Dafa tanpa menyentuh sedikitpun makanan yang dibawanya.
“Sudah kenyang. Sebelum ke sini Mas makan dulu,” jawabnya dengan tersenyum.
Aku kembali melanjutkan kegiatanku mengunyah, meski sesekali menoleh ke Dafa dan melirik orang yang ada di sebelahnya. Hanya ingin memastikan apa yang dilakukannya.
“Kak, Mas Arkan tawarin,” pinta Dafa sambil memegang lengan kiriku. Aku seketika menoleh ke arah Dafa dan Gus Arkan secara bergantian. Jika yang kulihat Dafa menatapku dengan mata memohon, lain hanya dengan Gus Arkan yang malah menampakkan senyum jahilnya.
“Nggak, Dek. Kan Mas Arkannya sudah-“ Aku menghentikan ucapanku yang sebenarnya belum selesai.