SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #20

19. Receive Help

“Tidak enak hati dan takut mengecewakan itu beda tipis.”

//==//

Aku masih berdiri di tepi jalan. Menghadap jalanan dengan tatapan kosong. Entah apa yang aku pikirkan, yang jelas aku hanya nyaman berdiri di sini. Meskipun mungkin ada yang melihatku dengan tatapan aneh. Aku tidak memperdulikannya. Kedatangan Kang Farhan kesini membuatku senang. Meski disisi lain aku tetap merasa ragu dengannya. Tapi hatiku mencoba untuk selalu percaya akan keseriusannya yang mungkin masih tertunda.

“Kamu ngapain?” Aku terlonjak saat mendengar pertanyaan yang datang dari belakangku.

“Eh, kok di-di sini?” tanyaku dengan gugup. Aku merasa seperti ketahuan mencuri.

Gus Arkan mengangkat sebelah alisnya. Kedua tangannya diletakkan di depan dada. “Saya yang tanya. Kamu ngapain?” Kedua matanya menatap lekat ke arahku. Membuatku tidak nyaman ditatap seperti itu.

“Saya em-“ Aku celingukan mencari alasan.

Tidak mungkin aku mengatakan yang sejujurnya. Bukan karena takut Gus Arkan marah. Tidak ada urusannya denganku jika dia benar-benar melakukannya. Hanya tidak ingin timbul pikiran yang macam-macam saat Gus Arkan mengetahui hubunganku dengan Kang Farhan. Abi dan Umi-lah yang harus lebih dulu mengetahinya.

“Apa?” sahutnya tidak sabaran. Aku menghembuskan nafas kasar.

“Bertemu teman.”

Gus Arkan mengangkat sebelah alisnya. Seolah tidak percaya dengan jawaban yang aku sampaikan. Aku memang tidak bohong. Kang Farhan adalah teman dekat yang akan menjadi teman hidup bagiku.

“Siapa?”

“Kepo!”

Gus Arkan melotot mendengarnya. Membuatku seketika tersadar atas apa yang aku ucapkan. Dengan segera aku menutup mulutku, merasa bersalah karena sudah berkata dengan  suara keras. “Maaf,” gumamku sambil memasang senyum penuh harap.

Gus Arkan mendengus sebal. “Dokter tadi visit ke ruangan ibu kamu. Dia bilang, siang ini ibu kamu boleh pulang.” Gus Arkan langsung berbalik setelah mengatakannya. Meninggalkanku yang masih berdiri mematung di tepi jalan.

Aku berlari mengejar Gus Arkan yang berjalan dengan langkah lebar. Dengan susah payah mensejajarinya. “Berarti saya urus suratnya dulu?”

Tidak ada jawaban dari Gus Arkan. Dia masih fokus dengan langkahnya yang tidak bisa aku samakan. Bahkan ketika sampai di depan ruangan, dia masih tidak mengucapkan satu katapun. Membuatku merasa tidak enak hati.

“Ibuk!” panggilku saat sudah berada di ruang rawat ibu.

“Kenapa?” tanya beliau dengan diiringi senyum khasnya.

“Nanti siang Ibuk sudah boleh pulang. Roya telpon Pakde Nurman dulu, Buk.” Aku mengambil ponsel yang tersimpan di saku bajuku. Saat baru saja menempelkannya di telinga, ibu menghentikan kegiatanku.

“Nggak usah, Nduk. Kita sudah ada yang antar.”

Aku mengernyit bingung mendengar jawaban ibu. Orang yang biasa dimintai tolong untuk mengantar ibu atau Dafa adalah Pakde Nurman. Jika kali ini bukan Pakde Nurman, lalu siapa orangnya?

“Siapa, Buk?” tanyaku penasaran.

“Arkan.”

Lihat selengkapnya