“Maaf, berkata yang sejujurnya. Hanya tidak ingin membuatmu berharap.”
//==//
Mobil berhenti di depan sebuah minimarket. Menyisakan aku yang duduk di depan dan ibu di belakang. Dafa sudah melenggang masuk ke minimarket bersama Gus Arkan. Semenjak Dafa mengatakan kalau dia melihatku di tepi jalan, aku mulai merasa tidak nyaman. Apalagi Dafa tidak mau duduk di bangku depan, alhasil aku yang harus merelakan diri bersanding dengan Gus Arkan yang sepertinya dalam mode buruk.
“Kamu kenapa? Ada masalah, Nduk?” tanya Ibu.
Aku menoleh ke belakang. “Nggak ada, Buk.”
Aku tinggal sembilan bulan di rahim ibu dan hidup bersama sampai sekarang. Membuat ibu akan dengan mudah mengetahui apa yang aku rasakan. Aku dapat menutupi kegelisahanku di depan orang lain, tapi tidak di depan ibu. Hanya dengan sekali lihat, ibu akan langsung tahu kondisi hatiku.
“Kamu jadi pendiem. Ibu lihat dari tadi kamu gelisah.”
Aku menghembuskan nafas panjang. Mengelak dari sangkaan ibu hanya akan membuatku seperti mengiyakan tuduhannya. “Nggak, Buk. Roya ngantuk. Ibuk kan tahu kalau naik mobil Roya selalu bawaannya pengen tidur.”
Aku kembali menghadap ke depan. Tidak ingin ibu melihat ekspresiku yang akan memperkuat tuduhannya tentang sikapku. Minimarket yang memang memiliki dinding kaca yang tembus pandang membuat Dafa dan Gus Arkan terlihat di depan meja kasir. Dafa berdiri dengan tenang di sisi Gus Arkan.
“Dafa kenapa nempel terus sih,” gerutuku saat melihat Dafa dan Gus Arkan keluar dari ruangan. Dafa dengan semangat menggandeng tangan Gus Arkan.
“Iri, Nduk,” celetuk ibu.
“Nggak lah, Buk. Ngapa-“
Seketika aku diam saat Gus Arkan sudah masuk ke dalam mobil. Dia menyerahkan sebuah kantong plastik berukuran besar tanpa melihatku. Membuatku menatapnya dengan bingung. Untuk apa dia membeli makanan sebanyak ini?
Suasana di dalam mobil kembali hening. Dafa mulai asyik lagi dengan game yang ada di ponsel ibu. Sedangkan aku menatap jalanan di depanku dengan nyalang. Kediaman Gus Arkan nyatanya membuatku benar-benar tidak nyaman. Bukannya aku sedih didiamkan, hanya merasa tidak enak saja. Gus Arkan sudah sangat baik baik dengan keluargaku.
“Belok ke mana, Bu?”
Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan yang dilontarkan Gus Arkan. Bukannya dia sudah tahu, kenapa pula mesti bertanya pada ibu padahal aku berada di sebelahnya.
“Ke kanan, Ar.”
Gus Arkan membelokkan mobilnya ke arah kanan. Memasuki gang menuju ke rumahku. Ponselku tiba-tiba berdenting, membuat Gus Arkan yang sedari tadi diam spontan menoleh ke arahku. Aku merasa diperhatikan saat mengusap layar ponsel.
Mr. Rois
Ya. Ibu kapan boleh pulang?
Aku menunggu mobil memasuki halaman rumah. Jika aku membalasnya sekarang dan mengatakan dalam perjalanan pulang, Kang Farhan jelas akan menanyakan dengan siapa aku pulang. Mengatakan satu mobil dengan Gus Arkan adalah hal yang sangat tidak mungkin. Aku takut Kang Farhan akan berpikir macam-macam dan menggagalkan niatnya untuk segera meminta izin kepada Abi dan Umi.
Me
Baru saja, Kang. Alhamdulillah kondisi ibu sudah baik.