SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #22

21. Meet You With A Different Situation

Sesuatu yang kita anggap sepele, ternyata memberi pengaruh besar di kehidupan orang lain.”

//==//

Seminggu setelah kembali dari rumah sakit, kondisi ibu sudah pulih. Ibu memintaku segera kembali ke pesantren karena merasa tidak enak dengan Umi jika aku terlalu lama di rumah. Saat ini aku sedang bersiap-siap. Tidak banyak barang yang aku bawa seperti saat akan kembali ke rumah waktu itu. Hanya sebuah handbag berukuran sedang berisi makanan ringan.

Kali ini aku tidak berangkat naik bus. Larangan menggunakan transportasi umum membuatku harus meminta Pakde Nurman untuk mengantarku. Wabah pandemic yang belum surut membuatku harus membuat surat keterangan sehat dari puskesmas sebelum kembali ke pesantren. Aku juga harus rela mengantri di puskesmas demi bisa mendapatkan surat itu.

“Ibuk, Roya pamit.” Aku mencium punggung tangan ibu.

“Bawaannya sudah semua?” tanya ibu saat melihatku hanya membawa sebuah handbag.

“Sudah, Buk.”

Dafa sedang bersekolah saat aku akan berangkat ke pesantren. Tapi sebelumnya aku sudah berpamitan terlebih dulu kepadanya. Dia tidak menangis seperti biasanya saat aku tinggal, mungkin karena sudah mulai terbiasa jauh dariku. Satu pesannya yang membuatku tidak bisa berjanji untuk mengabulkannya. Dafa bilang jika aku bertemu Gus Arkan meminta Gus Arkan untuk datang ke rumah. Pertemuan terakhir kami yang tidak baik jelas membuatku tidak berani menyampaikan pesan Dafa.

Nduk!” panggil ibu saat aku sudah berada di teras rumah. Mendengarnya aku langsung berbalik.

“Ada apa, Buk?” tanyaku saat tidak kunjung melihat ibu muncul dari rumah.

“Bawa ini. Titip buat Arkan.” Aku menelan ludahku dengan susah. Ibu memang tidak mengetahui apa yang terjadi antara aku dan Gus Arkan. Setahunya kami baik-baik saja sebagai orang yang saling mengenal.

“I-ini, Buk?” tanyaku dengan gugup. Sebenarnya aku sedang meyakinkan diri atas apa yang baru saja aku dengar. Berharap ibu salah menucapkan nama.

Ibu mengangguk semangat. “Iya. Cuma ini. Ibu nggak ada maksud apa-apa. Nduk.” Senyum lembut tarukir dari bibirnya. Membuatku tidak mampu untuk menolak. Baiklah, hanya memberikan titipan.

“Roya berangkat, Buk. Assalamualaikum.” Aku melambai ke arah ibu. Lalu berjalan menuju mobil Avanza milik Pakde Nurman. “Ayo, Pakde.”

“Yo.”

Pakde Nurman menyalakan mesin mobilnya. Memundurkannya beberapa meter agar bisa keluar dari ruangan. Aku kembali melambai ke arah ibu. Terlihat ibu yang juga melambai, sedangkan tangan kirinya menyeka airmatanya.

Ibu memang selalu menangis saat melihatku akan kembali ke pesantren. Katanya dia sedih harus jauh denganku yang sejak kecil selalu bersamanya. Apalagi semenjak ayah pergi. Ibu selalu merasa kesepian karena di rumah hanya berdua dengan Dafa.

Perjalanan selama dua jam berlalu begitu cepat. Mungkin karena sedari tadi aku hanya diam melamun. Mobil yang dikemudikan Pakde Nurman sudah memasuki kota tempat pesantrenku berdiri. Entah apa yang ada dipikiranku sekarang, yang jelas aku tidak bisa tidur sebagaimana biasanya saat di mobil.

“Yang kemarin itu siapa?” tanya Pakde Nurman saat mobil berbelok ke kiri.

Lihat selengkapnya