SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #23

22. Mini Cake and Sadness

“Kabar buruk lagi, kenapa sesulit ini mencintaimu?”

//==//

Pertemuanku dengan Gus Arkan kemarin sempat membuatku kepikiran. Aku merasa menjadi orang yang terpilih dan istimewa. Seorang Gus Arkan yang berasal dari keturunan kiyai dan berpendidikan tinggi, memilihku menjadi pendamping hidupnya. Mungkin jika sampai ada yang tahu, mereka akan menganggapku bodoh karena sudah menolaknya. Tapi cintaku ke Kang Farhan membuat semua kelebihan Gus Arkan tidak begitu menarik bagiku.

Ponsel milikku sudah dititipkan kepada pengurus pesantren. Sehingga aku tidak bisa seenaknya men-chat Kang Farhan seperti biasanya. Berbicara soal Kang Farhan, beberapa saat yang aku bertemu dengannya. Dia mengenakan jas almamater berwarna hijau tua dan sarung polos hitam. Kang Farhan selalu tampan saat mengenakan pakaian seperti itu.

“Woi!”

Aku terlonjak saat mendengar teriakan Mbak Ami. Saat aku berbalik, Mbak Ami membawa sepiring kue yang entah tidak aku tahu darimana asalnya. Yang jelas bentuknya seperti kue ulang tahun tapi berukuran sangat kecil.

“Apa sih, Mbak? Bikin kaget. Ini apa lagi pake bawa kue segede telor ceplok,” keluhku. Mbak Ami malah tertawa saat mendengarnya. Dia membawa kue kecil itu berada tepat di hadapanku. Membuatku mengernyit bingung.

“Selamat ulang tahun!” Mbak Ami berbicara dengan girang. Aku malah semakin bingung. Ulang tahunku sudah lewat hampir satu bulan. Lalu ulang tahun siapa?

“Siapa yang ulang tahun, Mbak?” tanyaku polos.

“Kamu.” Aku menganga mendengar jawabannya. Spontan aku meletakkan punggung tanganku di keningnya. Memastikan kondisinya yang menurutku aneh.

“Kok aku? ulang tahunku udah lewat, Mbak.” Aku tertunduk lesu. Mbak Ami salah memilih waktu merayakannya. Lagipula aku juga tidak pernah suka dengan acara ulang tahunan.

“Tau. Sayangnya Mbak baru inget tadi pagi. Nggak apa-apalah, kita makan kuenya,” ucapnya tanpa peduli dengan ekspresi kagetku. Mbak Ami memang aneh, tapi tidak apa-apa sih. Aku suka saja kalau urusannya sama makanan.

“Dapet dimana keunya, Mbak? Apa jangan-jangan nemu?” tanyaku dengan senyum jahil. Mbak Ami malah mendengus sebal.

“Sembarangan. Beli lah. Kamu tahu, Mbak baru nemenin Umi ke toko kue yang ada di depan apotek itu?” Mbak Ami yang menyuapiku karena hanya ada satu sendok di piring ini.

Aku menggeleng. “Nggak.”

“Tadi sekalian belanja. Umi juga beli banyak buat dibawa ke rumah calon istrinya Farhan.” Aku langsung tersedak saat mendengar ucapannya. Apa maksudnya calon istri Kang Farhan. Aku tidak mengerti. “Biasa aja kali, Roy. Segitunya dengar Farhan mau nikah.”

Aku langsung mengubah ekspresiku agar kembali telihat biasa. Kabar mencengangkan yang harus aku perjelas sebelum menelannya bulat-bulat. Aku tidak mau salah paham. “Kang Farhan nikah? Sama Mbak siapa itu” Aku berpura-pura mengingat nama calon yang pernah disebutkan Kang Farhan.

“Mbak Khalisna.”

Lihat selengkapnya