“Mungkin dia merasa aku tidak pantas, makanya memilih pergi.”
//==//
Asrama yang aku tempati ini terasa sunyi. Tidak biasanya aku merasa kesepian seperti sekarang. Bayangan Kang Farhan yang benar-benar akan menikah dengan perempuan lain dalam waktu yang sangat mendadak membuatku tidak bisa tertidur. Perasaanku terus gelisah sedari tadi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Diam tanpa pergerakan seperti sekarang malah membuatku semakin cemas.
Aku masih belum percaya dengan kabar yang sudah jelas disampaikan oleh Umi. Entah kenapa, rasanya semuanya masih seperti mimpi. Kepercayaanku pada cinta Kang Farhan yang sudah mengakar di hatiku membuat semua ini seperti ujian saja. Perjodohan Kang Farhan dengan Mbak Khalisna saja gagal. Mungkin saja kali ini juga akan gagal.
“Nglamunin apa?” tanya Mbak Ami yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku.
Aku mengedikkan bahu sekilas. “Nggak ada, Mbak.”
“Beneran?” Aku menoleh ke arah Mbak Ami yang menatapku cemas.
“Bener,”jawabku dengan senyum. Mbak Ami tidak boleh tahu keadaan hatiku. Aku tidak mau dikasihani oleh siapapun.
Mbak Ami menganggukkan kepalanya. “Keluar yuk. Mbak mau beli sesuatu.” Aku mengubah posisiku menjadi menyamping.
“Kemana?”
“Ada deh.” Mbak Ami beranjak sambil menarik tanganku.
Aku langsung berdiri dengan cepat. Berjalan sambil membenarkan jilbabku yang miring karena kegiatan tiduranku. Mbak Ami mengambil motor yang terparkir di depan koperasi. Aku segera naik saat Mbak Ami sudah menyalakan motornya.
“Mau kemana sih?” tanyaku penasaran. Tidak biasanya Mbak Ami mengajakku keluar di siang bolong seperti ini.
“Diem!”
Mbak Ami berteriak karena kami sudah berada di jalan raya. Membuatku kembali duduk dengan tenang di belakang. Kemanapun Mbak Ami pergi, dia pasti tidak akan membuatku celaka. Motor yang dikemudikan Mbak Ami melewati pasar yang biasanya kami berbelanja saat masi pagi buta. Saat sampai di pertigaan, dia membelokkan motornya ke kanan.
Aku masih belum menemukan tempat yang dituju Mbak Ami. Kami tidak ada persiapan, terlalu sulit menebaknya. Sampai Mbak Ami membelokkan motornya di sebuah pintu gerbang sebuah pantai berpasir hitam. Aku curiga dia sengaja mengajakku kabur ke tempat ini. Kalau tahu begini, harusnya tadi bawa lotion.
“Mbak yakin kita kesini?”
Mbak Ami mengangguk semangat. Membuatku menatapnya penuh selidik. “Tadaaa… Hadiah ulang tahun.”
Aku menekuk wajah lesu. Mbak Ami memang selalu melakukan hal aneh. Ini bukan pertama kalinya dia bertingkah tanpa persetujuanku. Dulu saat diminta Umi belanja, Mbak Ami malah membawaku ke supermarket yang letaknya jauh dari pesantren. Alhasil Umi menegur kami yang terlambat pulang padahal makanan yang kami beli akan disuguhkan kepada tamu.
“Kenapa nggak bilang sih, Mbak?” tanyaku dengan wajah frustasi.
“Nggak suka?” Kedua mata Mbak Ami memicing menatapku. Sepertinya dia siap untuk mengeluarkan berbagai macam pembelaan jika aku terus menyalahkannya. Dasar tukang ngeles.
“Nggak lah. Tau gini aku bawa lotion, Mbak.” Mbak Ami menepuk lenganku dengan keras.