SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #25

24. Down

“Aku menekan lukaku, agar tidak ada lagi harapan yang terbayang.”

//==//

Tidak ada akan ada lagi rasa penasaran setelah hari ini. Kabar buruk yang diceritakan Mbak Ami kemarin benar-benar terjadi. Ia bukan hanya sebuah mimpi buruk yang akan enyah tatkala fajar menyapa. Tapi sebuah kenyataan pahit yang memang memaksaku harus merasakannya. Sore nanti, akad nikah antara Kang Farhan dan Bilkis, perempuan yang dilamarnya dua minggu yang lalu itu akan segera dilangsungkan.

Aku bukannya tidak tahu saat lamaran Kang Farhan benar-benar telah terjadi. Bahkan semenjak hari itu, yang aku sendiri ikut mengemas bingkisan lamaran yang memang hampir semuanya disiapkan Abi dan Umi. Sekuat hati aku menahan diri agar tidak menangis saat itu. Bayangkan saja, membungkus hantaran untuk lamaran orang yang paling aku cintai. Menyedihkan.

“Pengantin perempuannya mana sih,” keluh Mbak Ami ketika semua hadirin sudah siap. Kang Farhan juga sudah duduk menghadap meja kecil, bersebrangan dengan seorang pria dewasa yang mungkin adalah ayah Bilkis.

“Keluarnya nanti, Mbak. Kalo udah sah,” jawabku santai.

Kalau bukan karena ajakan Umi, aku tidak akan mau datang ke acara ini. Mendengar kabar lamarannya saja membuat tubuhku lemas. Selama dua hari aku tidak mau makan. Saat Mbak Ami menanyakannya, aku jawab sedang diet. Mbak Ami hanya mendengus karena dia tahu tubuhku terbilang ramping.

“Oh, iya. Lupa. Bawaan liat sohib nikah. Makanya pengen cepet-cepet liat mereka berhadapan.”

Aku Berusaha tidak terpengaruh dengan ucapan Mbak Ami. Setelah acara lamaran, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Kang Farhan. Dia seperti menghilang ditelan bumi. Aku juga tidak Berusaha untuk menghubunginya. Sekian tahun yang kami lalui, harusnya dia yang menemuiku dan meminta maaf. Nyatanya dia seperti tidak melakukan dosa apapun.

Selama dua minggu ini juga, aku selalu berdoa agar semua ini hanya mimpi. Sebelum semunya terjadi, rasanya masih ada harapan yang terbentang untukku. Katakana saja kalau aku budak cinta. Aku memang sangat mencintai Kang Farhan. Dua tahun kami adalah moment terindah yang tidak pernah bisa aku lupakan. Sayangnya dengan jahatnya dia tega melepas diri tanpa pesan. Meninggalkanku yang masih mengharapkannya hingga saat ini.

“Aku kapan nikah ya.” Aku menoleh ke arah Mbak Ami yang menggumam. Matanya menatap kosong ke punggung seorang ibu di hadapannya.

“Sekarang juga boleh, Mbak.” Mbak Ami langsung melotot ke arahku. Aku hanya memasang senyum masam.

Kang Farhan sepertinya tidak tahu jika aku berada di sini. Dia berangkat bersama rombongan orang tuanya lebih dulu. Sedangkan aku bersama Umi dan Abi lima belas menit setelah mobil yang ditunggangi Kang Farhan meluncur di jalanan.

“Emang kamu pikir nikah bisa secepet itu. Dasar jomblo.” Dia mengatakannya sambil berbisik. Tidak ingin membuatnya menjadi pusat perhatian.

“Jomblo ngledek jomblo.” Aku memutar bola mataku malas. “Tapi itu si Farhan bisa nikah secepet itu.” Padahal aku yang sudah menemaninya selama ini. sebaik mungkin menjaga hati agar tidak berpaling.

“Jodoh kali,” celetuk Mbak Ami.

Seunik itukah perkara jodoh? Aku yang memperjuangkannya, malah aku yang kecewa. Kalau tahu begini, aku tidak mau jatuh cinta. Dia mencapkan cintanya begitu dalam tapi akhirnya meninggalkan tanpa pesan. Aku mendongak agar air mataku tidak menetes. Akan ada yang menaruh curiga padaku jika aku benar-benar menangis. Memalukan sekali.

“Iya, jodoh.” Aku hanya persinggahan sementara baginya. Bukan sebuah rumah yang akan ditinggalinya selamanya. Aku menangisi kepergiannya, tapi lebih kecewa atas tindakannya. Tidakkah dia tahu bagaimana perasaanku saat ini, ditinggal menikah tanpa ucapan maaf dan selamat tinggal? Menyesakkan. Aku merasa terbohongi.

Mungkin ini alasannya tidak juga meminta izin pada Umi dan Abi. Dia tidak pernah serius kepadaku. Aku yang tidak pernah ambil pusing dengan gossip dan selalu dengan senang hati mencintainya, tidak ia anggap sebagai calon istri. Sayangnya aku terlambat paham posisiku yang ternyata dimanfaatkan.

Lihat selengkapnya