SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #26

25. Choice

“Aku lelah, makanya memilih menyerah dan berserah.”

//==//

Gus Arkan tidak mengatakan apapun setelah pulang dari pantai. Sikap ramah dan manisnya juga sudah tidak ada lagi. Membuatku merasa bersalah. Dia juga tidak memberikan nasihat sedikitpun kepadaku, apalagi menertawakan. Yang dia lakukan hanya satu, memberikan tempat untukku menagis sepuasnya.

Karena kepergian kami yang hanya berdua, Mbak Ami tidak berhenti menggodaku. Dia menuduhku sudah menjalin hubungan istimewa dengan Gus Arkan. Berkali-kali pula aku mengelak atas tuduhannya. Tapi namanya Mbak Ami, dia masih saja tidak percaya. Dia memang paling semangat menggodaku dengan Gus Arkan.

“Roy!”

“Hm.”

“Kalo Gus Arkan ngelamar kamu, kamu mau nggak?”

Aku menggeleng. “Nggak.”

Mbak Ami langsung merebut buku yang sedang aku baca. Membuatku mendengus ke arahnya. Aku paling tidak suka diganggu saat sedang membaca. “Balikin, Mbak.”

“Apa yang kamu pikirin sih, Roy. Gus Arkan kurang apa coba? Ganteng, mapan, baik, paket lengkap pokoknya. Kebanyakan mikir kamu.” Mbak Ami berkata dengan menggebu-gebu. Membuatku jengah melihatnya.

“Nggak mungkin, Mbak. Bukan nggak mau.”

Jika dipikir-pikir, Gus Arkan memang paket lengkap. Dia memiliki kriteria sebagai suami idaman. Tapi aku belum bisa menyukainya, bayangan kenanganku dengan Kang Farhan masih sering menar-nari di ingatanku.

“Berarti kamu mau?” tanya Mbak Ami dengan antusias. Dia sudah duduk menghadapku sekarang.

Aku memandang langit-langit asrama. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak mau selain karena rasa yang belum hilang. Mungkin jika nanti Kang Farhan sudah tidak ada lagi di hatiku, Gus Arkan sudah melabuhkan hatinya pada perempuan lain. Dia tidak mungkin bertahan atas penolakanku. Lagipula pasti banyak perempuan yang dengan senang hati menerimanya. Aku? Bukan apa-apa.

“Dia yang nggak mau, Mbak.” Aku merebut buku yang berada di tangan Mbak Ami. kembali melanjutkan kegiatanku yang sempat terganggu.

“Nggak mungkin. Gus Arkan kayaknya cinta banget sama kamu. Dia kan…”

Ucapan Mbak Ami tidak lagi aku dengarkan. Aku focus membaca buku tentang Sejarah Nabi. Buku yang ditulis dalam bentuk cerita ini membuatku tidak bosan saat membacanya. Bagian demi bagian membuatku berada di zaman itu. Menyaksikan perjuangan Baginda Nabi dalam mensyiarkan agama islam dengan sikap lembut dan tegasnya.

“Mbak Roya. Umi mau bicara sesuatu.” Aku mengangguk, duduk dengan takdzim di depan Umi.

Kami sedang ada di ruang keluarga sekarang. Hanya ada aku dan Umi. Anggota keluarga Umi yang lain sepertinya sedang keluar. Rumah ini terlihat sepi sejak tadi.

“Ibu kamu pernah minta kamu pulang, Mbak?”

Aku mengangguk. “Pernah, Mi.”

“Kamu bilang apa, Mbak?”

“Tunggu waktu, Mi. Nanti kalau sudah mendapat izin dari Abi dan Umi, Roya pasti pulang. Begitu, Mi.” Aku mengucapkan semua kata denga tepat tanpa menmbah ataupun menguranginya.

Lihat selengkapnya