“Bahagia itu ketika membiarkan hati menerima kenyataan.”
//==//
Mbak Eka datang bersama keluarga Bude Sri. Dia membawa serta bayinya yang masih berusia satu bulan. Kedatangannya ini karena mendengar kabar pernikahanku. Dia bahkan rela datang tanpa suaminya, karena memang Mas Doni sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Dia datang dijemput Pakde Nurman, dan kini keluarga ini sedang berada di rumahku.
Jika biasanya ada tenda besar di depan rumah saat pernikahan, kini yang terlihat hanya rumah tanpa dekorasi. Hanya kamar tidurku yang sedang disulap menjadi taman bunga oleh Mbak Eka. Bagaimana tidak, semua bagian dinding dan tempat tidur, bahkan keset saja ada bunga mawarnya. Ini berlebihan.
“Mbak, disini nggak usah,” pintaku saat Mbak Eka menata bunga di atas keset yang bertuliskan welcome. Keset berwarna abu itu tidak sinkron dengan bunga mawarnya.
“Kasih, dong. Semuanya harus menunjukan keharuman, kebaruan dan kebahagiaan.”
Aku memutar bola mataku jengah. Mbak Eka terlalu ribet untuk urusan hias menghias. Untung saja tidak ada pelaminan, jika ada Mbak Eka pasti akan mengatur tukang dekorasi sesuai keinginannya.
“Keset itu diinjek, Mbak. Bukan buat pajangan,” keluhku sambil menatap Mbak Eka dengan wajah frustasi.
“Tempat tidur ya dipake tidur, bukan buat pajangan,” jawabnya santai. Dia menaik turunkan alisnya meledekku.
“Boleh dibuang kok Mbak bunganya.” Aku menahan nafas saat mengatakannya. Yang meletakkan bunga itu di tempat tidur adalah Mbak Eka, dan sekarang dia seolah menuduhku.
“Nanti Mas suaminya nggak jadi masuk, Roy. Gagal nikah baru tahu rasa kamu.”
Aku melirik Mbak Eka sekilas. Ucapannya yang sering asal dan ceplas ceplos tidak membuatku sakit hati. Dia satu-satunya sepupuku yang seumuran denganku. Membuat kami sangat akrab.
“Laki-laki itu suka yang wangi, Roy.” Aku masih tidak menghiraukan ucapannya. Memilih menata bunga yang ada di tempat tidur. “Dua hal yang harus selalu kamu jaga, pandangan dan penciumannya. Kamu harus selalu enak dipandang dan dicium suami kamu. Besok malam pertama loh. Ciye!”
“Kok aku geli ya, Mbak.”
Ucapan Mbak Eka membuatku bergidik ngeri. Dia malah tertawa mendengar jawabanku. Kegiatannya menata bunga di keset sudah selesai. Kini dia duduk di sebelahku. “Denger, Roy. Dalam pernikahan, akan ada godaan. Apapun yang terjadi ke depannya, kamu harus selalu mengikuti apa kata suami kamu. Tanyakan apa yang membuatmu ragu, jangan menyimpulkan sendiri suatu masalah dari sudut pandang kamu.”
Aku mengangguk paham. “Iya, Mbak. Mbak pernah ada masalah sama Mas Doni?”
“Ya pernah lah. Mbak nikah udah dua tahun. Dari mulai masalah ekonomi, sampai cemburu sudah pernah. Tapi yang selalu Mbak tekankan adalah komunikasi. Karena dengan komunikasi, kita jadi tahu apa yang tersembunyi dibalik prasangka kita.” Mbak Eka sedang dalam mode serius. Tidak ada ucapan ceplas-ceplos saat mengatakan nasihat pernikahan. Dia bisa berubah dewasa dalam satu waktu.
“Siap, Bos.” Aku berlagak seperti anak kecil yang sedang hormat kepada gurunya.
“Eh, Denay bangun!” pekiknya saat mendengar suara tangisan bayi.
Mbak Eka langsung bergegas keluar dari kamar. Meninggalkan sisa bunga mawar yang masih berada di atas nampan. Sebegitu antusiasnya Mbak Eka setelah mempunyai anak. Dia mencurahkan segala hidupnya untuk Denay dan Mas Doni. Tapi mereka menikah karena cinta, berbeda denganku yang dijodohkan tanpa sempat mengenal sebelumnya.
…
Aku duduk dengan gelisah di depan meja rias. Acara akad nikah akan segera dimulai. Terdengar ucapan seorang laki-laki dari ruang tamu. Hari ini adalah hari pernikahanku. Beberapa menit lagi, aku akan menyandang gelar istri. Sayangnya sampai sekarang aku belum tahu siapa nama calon suamiku. Ibu maupun Umi sengaja merahasiakannya, mereka bilang kejutan.
“Ya waladi. Ankahtuka wazawajtuka… “
Aku memejamkan mata mendengar namaku disebut. Sebuah janji yang mampu menggetarkan arsy. Setelah akad selesai, aku sudah sah menyandang gelar istri. Dan setelah ini, aku sudah tidak mempunyai hak atas diriku sendiri. Semua yang aku lakukan harus dengan ridho suamiku.
“Roya. Ayo keluar.”
Aku mengusap air mata yang membanjiri pipiku. Perempuan mana yang tidak sedih saat menikah, dia akan menyerahkan seluruh hidupnya untuk orang lain seumur hidup.