“Semua hanya tertutup tabir prasangka. Setelahnya akan terlihat sebuah fakta yang tertuang dengan kata ‘ternyata’.
//==//
Jam dinding berdenting pelan. Suaranya terdengar karena sunyinya kamar ini. Aku menggeliat saat merasakan ada yang memelukku dari belakang. Sebuah tangan melingkar dengan posesif. Aku berbalik, menatap wajah teduh yang sedang terlelap. Meski sudah sedewasa ini, Gus Arkan masih seperti bayi ketika tidur. Tenang dan menggemaskan.
Aku mengecup keningnya sekilas. Mumpung sedang tidur. Saat terjaga, aku hanya bisa tersenyum malu-malu saat dia memperlakukanku dengan romantis. Aku tidak akan pernah menyesal menikah dengannya. Laki-laki yang sangat pengertian. Dia selalu punya cara menarik untuk membuatku senang.
Meski awal pernikahan aku masih sangat canggung saat berhadapan dengannya. Tapi Gus Arkan yang selalu mengajakku untuk mengobrol sebelum tidur, membuat kami semakin dekat. Seperti kata Mbak Eka, Gus Arkan juga menekankan komunikasi diantara kami. Dia yang pencemburu akut tidak mau salah menuduh. Tapi aku juga harus menjaga sikap agar tidak memancing emosinya.
“Lagi.”
Aku terbelalak mendengarnya. Matanya masih terpejam tapi bibirnya menyunggingkan senyum.
“Udah bangun?”
“Belum.” Aku menarik hidungnya saat dia hanya menjawab tanpa membuka mata. Mana ada orang yang belum bangun tapi bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Mengigau yang keren.
“Kalo belum bangun nggak bakalan bisa jawab lah.”
Aku masih betah menatap wajahnya yang manis. Mengamati setiap inci bagiannya. Laki-laki yang pernah aku tolak demi orang lain. Dia yang dengan baiknya membawaku pergi saat aku sedang sedih. Hanya dia yang mengetahui luka yang aku simpan rapi.
“Ngigau, Ai.”
Aku mencoba untuk bangun. Sayangnya Gus Arkan malah menarikku dalam pelukannya. Medekapku dengan lembut. “Bangun, ih. Tahajud.”
“Ngantuk.” Gus Arkan menjawabnya dengan suara serak khas bangun tidur.
“Ayo bangun.” Aku memukul punggungnya yang hanya terlapisi kaos putih tipis.
“Hm.”
“Aku boleh tanya sesuatu, Mas?” Sudah terlanjur bangun. Mending sekalian mengobrol saja. Akhir-akhir ini kami jarang ada waktu untuk mengobrol santai. Setelah mengajar para santri, Gus Arkan akan langsung pergi ke pabrik. Meski saat pulang belum larut, masih ada kegiatan pesantren yang harus diisi olehnya.
“Tanya saja. Kenapa mesti ijin?”
“Tadi kan katanya ngantuk, aku nggak mau ya lagi ngomong ditinggal tidur.”
Gus Arkan melonggarkan pelukannya. Satu tangannya menyentuh pipiku. “Tanya saja,” ucapnya sambil membuka mata. Dia berusaha menahan matanya agar tidak kembali terpejam. Membuatku semakin gemas melihatnya.
Aku menarik nafas panjang. Menatap kedua manik mata Gus Arkan yang selalu teduh. “Apa yang bikin Mas Ar pertama kali suka sama aku?”
Gus Arkan memutar bola matanya. Dia seperti sedang mengingat sesuatu. “Lupa,” jawabnya yang sukses membuatku memukul lengannya.
“Serius, ih.”
Gus Arkan tertawa. Satu tangannya masih setia berada di atas pipiku. “Ngambekan,” celetuknya yang membuatku melotot ke arahnya. Sepertinya wajahku sangat tidak cantik kali ini. Bangun tidur dengan rambut acak-acakan dan wajah bengkak berminyak.
“Cepetan, Mas.”
Aku tidak sabar mendengar jawabannya. Pertanyaan ini sudah muncul sejak pertama kali aku tahu Gus Arkanlah suamiku. Apa yang dia lakukan masih belum bisa aku cerna dengan baik. Bagaimana tidak, seorang laki-laki yang pernah ditolak masih dengan gagahnya datang dan malah menikahiku.
“Dengerin, tapi jangan marah ya.” Aku mengangguk cepat. Tapi jantungku berdegup kencang setelah mendengar ucapan terakhirnya. Mungkinkah ada hal yang akan membuatku sakit hati?
“Karena kamu polos,” jawabnya cepat.
Aku menatapnya penuh selidik. “Kok bisa?”
“Nggak tahu sih. Keliatan polos gitu. Makanya Mas langsung pengen jadiin kamu istri. Kan asyik tuh punya istri yang polos, bisa dikibulin.” Gus Arkan tertawa saat mengatakannya. Membuatku menutup mulutnya dengan kedua tanganku.