“Siapa sangka kesalahan menjadi cara lain untuk mendekatkan..”
//==//
Aku sedang membuat membaca sebuah buku tentang masakan. Buku yang aku beli saat pergi ke supermarket bersama Mbak Ami dulu. Ah, rindu sekali dengannya. Biasanya dia akan mengajakku mengobrol atau menggangguku saat aku sedang membaca. Kini, aku hanya sendirian di kamar. Gus Arkan sedang pergi ke pabrik.
Bunda pernah mengajakku untuk ikut mengajar di pesantren yang dipimpin oleh Ayah Reyhan, mertuaku. Pesantren modern yang berada persis di belakang rumah Bunda. Saat ikut Umi menghadiri pernikahan Sabila, aku belum mengetahuinya. Baru setelah menikah, Gus Arkan memberitahuku tentang itu.
Pesantren itu berdiri membelakangi rumah Bunda. Jika dilihat dari luar,bentuknya mirip bangunan sekolah bertingkat. Sayangnya aku belum pernah masuk kesana, padahal Bunda maupun Gus Arkan berkali-kali mengajakku. Aku masih malu. Alasan lainnya karena tidak ada satupun yang aku kenal.
“Ai, laper.”
Aku menurunkan buku yang sedang aku baca. Melihat sosok tinggi yang baru saja membuka pintu. Dia masih mengenakan baju yang sama seperti tadi pagi.
“Mau makan disini apa di ruang makan, Mas?” tanyaku sambil bergerak turun dari tempat tidur.
“Di sini,” jawabnya sambil meletakkan kepalanya di bahuku. Kami berdiri dalam posisi berhadap-hadapan.
“Ya udah, tunggu. Aku ambilin makanannya.”
Aku menenggakkan kepalanya. Meninggalkannya yang masih berdiri di hadapanku. Saat sampai di depan pintu, Gus Arkan menghentikan langkahku dengan panggilannya. Membuatku berbalik.
“Ai!”
“Ada apa lagi?” tanyaku sambil memasang senyum ramah. Aku harus selalu terlihat manis di depan suamiku.
“Telur dadar tanpa bumbu, kasih cabe satu dan pake minyak zaitun gorengya.”
Aku mengangguk. Berjalan keluar dari kamar. Ini pertama kalinya dia memintaku membuat telur dadar dengan minyak zaitun. Biasanya Gus Arkan lebih suka makan balado telur yang tidak di dadar terlebih dahulu, melainkan direbus.
Tidak sampai sepuluh menit telur dadar yang aku buat sudah siap. Semua seperti apa yang diperintahkan Gus Arkan. Tidak ada yang aku tambahkan atau dikurangi, karena Gus Arkan tidak begitu suka sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dia memang cenderung mengekang akhir-akhir ini.
“Kok tidur sih,” keluhku saat melihatnya tidur di atas kasur kami. “Mas, makan yuk.” Aku menggoyangkan lengan kanannya. Perlahan matanya terbuka. Membuatku tersenyum. “Makan, yuk.” Aku mengulangi ajakanku.