“Kamu sudah memilih jalan lain, silahkan terima konsekuensinya.”
//==//
Bunda mengajakku berbelanja di supermarket. Beliau bilang ingin membuat eskrim tiramisu. Keponakannya yang berada di Denpasar akan berkunjung minggu depan. Tapi Bunda menyiapkan jauh-jauh hari. Beliau bilang agar tidak terburu-buru. Kami sudah berada di lantai bawah supermarket dengan tiga lantai ini. Memilih bahan-bahan untuk membuat eskrim dan bahan makanan lainnya.
Aku bertugas membawa troli. Mendorongnya pelan di sebelah Bunda. Biasanya Bunda ditemani Mbak Sanah, tapi karena dia masih di rumah sakit menjaga ibunya, Bunda memintaku menemaninya.
Krakk!
Ujung troliku menabrak sesuatu di depannya. Setelah aku lihat, ternyata bertabrakan dengan troli lain yang berjalan ke arahku. Aku yang berada di ujung rak tidak bisa melihat orang yang ada di depanku.
“Maaf,” ucapku saat sudah membenarkan posisi troli.
Seseorang yang ada di hadapanku membuatku tersentak. Jantungku berdetak sangat cepat. Keringat dingin meluncur dengan derasnya. Setelah tiga bulan ini, aku melupakannya. Semua kenangan yang pernah terukir, aku kubur bersama cita-cita yang dia hempaskan ke dasar bumi.
Kepergiannya yang tanpa permisi membuatku mem-blacklist namanya dari memoriku. Dia tersnyum kikuk, membuatku ingin memberikan satu kata pedas yang bisa membuatnya tahu betapa terlukanya aku. Satu kata yang tidak akan pernah dilupakannya. Sayangnya aku bersama Bunda. Tidak mungkin aku berbuat nekat disini.
Aku mendorong troliku menjauh. Tidak ingin terus-terusan bertemu pandang dengannya. Sudah cukup harapan yang pernah ia sematkan di hatiku. Aku akan melanjutkan kehidupanku, kisah cinta yang lebih konkret yang akan membawaku pada ketaatan.
“Ya!”
Aku memejamkan mata mendengar panggilannya. Dulu aku sangat senang saat dia memanggilku seperti itu. Tapi kini, panggilan itu terdengar memuakkan. Membuatku ingat saat ada di acara pernikahannya.
“Siapa itu? Kamu kenal?” tanya Bunda sambil berhenti dan menghadap ke belakang.
“Roya nggak kenal, Bunda.”
Aku bersikap seperti orang yang kebingungan. Biar saja Kang Farhan berpikir aku jahat, toh dia lebih jahat tiga kali lipat dibanding aku.
“Jalan lagi, Bun.”
Bunda menganggukkan. Aku berjalan dengan gelisah di belakang Bunda. Kang Farhan adalah serpihan masa laluku, sekuat apapun aku menghapusnya, dia tetap akan menjadi bagian dari ceritaku. Aku tidak sedikitpun menyimpan rasa untuknya saat ini. Dia sudah menikah, dan aku juga. Kami punya kehidupan yang harus kami jaga kelangsungannya.
“Apelnya lupa, Roy. Kamu tunggu disini, ya. Bunda mau beli dulu.”
“Iya, Bunda.”
Aku menunggu Bunda di depan tempat penitipan barang. Mengecek ponsel yang sedari tadi tersimpan di tas kecilku. Ada chat dari Gus Arkan. Dia sudah berada di Purbalingga, mengikuti liburan pegawai pabrik. Gus Arkan tidak mengajakku, dia bilang takut pegawainya ada yang menggodaku nantinya. Berlebihan sekali, kan.
“Ibu,” sapaku saat telpon sudah tersambung.
“Apa kabar, Nduk?”
Suara ibu mengalun indah. Aku sangat merindukannya. Semenjak menikah, Gus Arkan mengajakku untuk tinggal di rumahnya. Tapi setiap dua minggu sekali, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi ibu.
“Baik, Buk. Roya kangen Ibuk sama Dafa.” Aku mendengar helaan nafas ibu. Semenjak menikah, ibu bilang aku menjadi sangat manja.
“Baru seminggu kamu kesini. Ibu sama Dafa baik. Oh iya, besok Dafa mau ikut turnamen bola. Doakan semoga lancar, Nduk.”
“Iya, Buk. Semoga lan-“
“Ya!”
Aku mengenal panggilan itu. Suara khasnya terlalu familiar di telingaku.
“Kang…”
Aku terperangah ketika berbalik. Laki-laki yang tadi menabrak troliku sudah berada di hadapanku. Menjinjing kantong plastik berwarna putih. Dia tersenyum, senyum yang dulu sangat aku sukai.