SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #31

30. Clarification

“Kadang tujuan baik kita akan dinilai buruk oleh orang lain. Karena mereka hanya percaya penglihatannya, bukan kenyataan.”

//==//

Aku melajukan motor dengan cepat. Menuju rumah ibu kandungku. Jujur saja, ini pengalaman pertamaku mengendarai motor sendiri dengan jarak sejauh ini. Sebelumnya paling hanya sekita satu sampai dua kilometer saja. Apalagi semenjak menikah, Gus Arkan tidak pernah mengijinkan.

Pukul tiga sore, aku sampai. Halaman rumah ibu yang dipenuhi pepohonan rindang terlihat sangat asri. Meski luas, ibu tetap menyempatkan diri untuk menyapunya setiap pagi. Pintu rumah dalam keadaan tertutup, tapi aku tahu ada orang di dalamnya. Ibu memang jarang sekali keluar rumah kalau tidak ada keperluan. Beliau juga bukan termasuk orang yang senang duduk di depan rumah sambil bergosip dengan tetangga.

“Assalamualaikum.”

Aku langsung membuka pintu tanpa menunggu balasan salam dari dalam rumah. Berjalan menuju ruang keluarga yang berada persis di sebelah ruang tamu. Tidak ada orang, pasti sedang di dapur. Biasanya ibu selalu memasak di jam segini. Meski hanya berdua, ibu telaten memasak dua kali sehari dalam porsi sedikit. Katanya agar makanan yang dikonsumsi masih segar.

“Ibuk!” Aku memeluknya dari belakang. Meski tujuan utamaku menanyakan perihal ucapan Kang Farhan. Tetap saja ada rindu terselubung yang aku simpan setiap berada jauh dari ibu.

“Kenapa disini?” tanyanya sambil berbalik.

“Kangen ibuk,” jawabku cepat. Aku melebarkan senyum. Menatap wajah ibu yang masih cantik meski sudah tidak muda lagi.

“Arkan mana?” Ibu celingukan mencari Gus Arkan di belakangku. Aku menggeleng.

“Roya sendirian, Buk.” Ibu melotot mendengarnya. Semenjak menikah, kemanapun aku pergi Gus Arkan selalu menemaniku.

“Kamu ada masalah?” tanyanya dengan wajah khawatir.

Aku kembali menggeleng. “Nggak, Bu. Mas Arkannya lagi ke Malang. Ada kunjungan wisata bareng pegawai pabrik.” Ibu menghela nafas lega. Beliau memang selalu ingin agar aku menjaga hubungan kami agar selalu baik.

“Oh. Syukurlah. Mau makan apa kamu? Ibu cuma masak cah kangkung sama telur dadar,” ucapnya sambil mematikan kompor.

Ibu menuangkan cah kangkung buatannya ke piring. Membawanya menuju meja makan yang ada di ruang keluarga. Nasi dan telur dadarnya sudah siap di meja itu. Tapi aku tidak melihat Dafa. Bisanya dia selalu menunggu ibu memasak, lalu bersorak saat telur dadar kesayangannya sudah siap dihidangkan.

“Roya mau tanya sesuatu, Buk.” Aku duduk di sampinya yang bergerak mengambilkan piring untukku. Ibu memang selalu memanjakanku meski sudah sedewasa ini. membuatku setiap hari semakin merindukannya.

“Tanya apa? Makan dulu lah,” pintanya sambil menuang nasi.

“Iya, Buk. Tapi ibuk jawab jujur ya,” ucapku dengan raut wajah serius,

Ibu menatapku dengan bingung. Meletakkan piring yang tadi dipegangnya. “Kamu bikin ibu penasaran,” celetuknya sambil tertawa.

Aku gelisah saat akan mengatakannya. Semoga ibu tidak berpikir yang aneh-aneh. Aku menarik nafas panjang. “Apa dulu pernah ada laki-laki yang menemui ibuk, dia datang dan meminta Roya?” tanyaku hati-hati. Ibu terlihat berpikir saat mendengar pertanyaanku.

“Kapan?” tanyanya masih belum mengingatnya. Mungkikah Kang Farhan mengarang cerita?

“Sekitar empat bulan lalu,” jawabku cepat.

Ibu masih diam. Keningnya berkerut tanda sedang berpikir. Kedua matanya juga terpejam sempurna. Aku menunggunya dengan cemas. Tidak berselang lama, ibu membuka matanya dengan cepat. Tapi wajahnya berubah serius.

“Namanya Farhan?” Aku mengangguk. Ibu menarik nafas panjang. “Pernah,” jawabnya santai.

“Kok ibuk nggak bilang?” tanyaku kesal. Harusnya ibu memberitahuku saat itu. Setidaknya aku tidak serratus persen membenci Kang Farhan.

“Dia datang pas kamu sudah berangkat ke pesantren. Waktu itu ibu belum sempat cerita ke kamu.”

“Ibuk nolak dia?” tanyaku pelan.

“Iya.” Ibu seperti tidak punya beban saat mengatakannya. Membuatku berpikir kalau ucapan Kang Farhan memang benar.

“Kenapa? karena dia kesini nggak bawa apa-apa? karena setahu ibu dia orang miskin?”

Ibu diam. Hanya ada helaan nafas yang terdengar. Aku semakin yakin kalau ucapan Kang Farhan memang benar. “Kamu tahu, ibu bukan melihat apa yang dibawanya. Ibu hanya sedang meneliti bagaimana cara dia bertamu. Orang yang berkunjung membawa buah tangan menunjukkan bahwa dia menghargai si tuan rumah. Dia lagi berjaga, kalau ternyata si tuan rumah sedang tidak memiliki hidangan untuk menyuguhi tamunya itu. Selain itu, ibu juga sudah terlanjur nerima lamaran Arkan. Bukannya tidak boleh menerima laki-laki lain saat sudah ada yang melamarmu?”

Aku mengangguk. “Benar, Buk.” Tertunduk lesu memikirkan jawaban ibu yang mampu membuatku lemas.

“Maafin, Ibu. Nggak seharusnya ibu nerima Arkan tanpa persetujuan kamu.” Mata ibu memerah,cairan bening mulai mengmbang di depan bola matanya. Tidak berselang lama ibu meneteskan iar matanya.

“Nggak, Buk. Nggak ada yang perlu disesali. Mungkin memang takdirnya harus seperti ini. Tanpa ibu menolaknya pun, jika Kang Farhan bukan jodohku, kami tidak akan pernah bisa Bersatu.” Aku menangkup wajah ibu yang mulai menua. Menyibak air mata yang mengalir deras. “Lagipula, Roya sudah bahagia sama Mas Arkan. pilihan ibuk itu memang terbaik.” Ibu memelukku erat. Tanpa terasa, air mataku juga luruh di antara pelukan.

“Maafin, Ibu.” Ibu kembali meminta maaf. Sebegitu merasa bersalahkah ibuku ini? Aku jadi menyesal menanyakannya.

 “Roya yang minta maaf, Buk. Oh ya, tadi Roya ketemu sama dia. Dia bilang kalo udah minta izin ke ibu buat minta Roya jadi istrinya. Roya cuma mau klarifikasi aja, Buk.” Aku melonggarkan pelukan. Mengambil piring yang tadi dipegang ibu. Menuangkan nasi dan lauk ke atasnya. “Dafa mana?” tanyaku saat melihat rumah begitu sepi.

“Lagi latihan bola di lapangan depan. Jam empat biasanya selesai,” jawabnya sambil menerima piring yang sudah diisi nasi. Ibu sudah menghapus air matanya. Tidak ada yang memnacing obrolan selanjutnya.

Ibu menyantap makanan yang aku siapkan di piringnya. Melahapnya sampai selesai. Aku juga tidak ketinggalan ikut makan bersama ibu, tapi berbeda piring. Porsi makanku yang banyak membuatku tidak pernah mau berbagi piring sejak dulu. Kecuali saat makan bersama di pesantren, pun yang dipakai bukan piring, tapi nampan bulat berukuran besar.

Aku menyantap makanan dengan lahap, karena aku yakin makanan disini semuanya halal. Bukan hanya dari bahan-bahannya, tapi juga dari cara mencarinya. Abi pernah bilang, makanan halal akan menjadi obat yang mampu menghancurkan penyakit hati. Itu juga alasanku makan banyak selain karena memang belum kenyang.

Terlalu asyik mengobrol dengan ibu membuatku lupa kalau aku harus kembali ke rumah mertuaku. Jam setengah lima sore, ibu tidak mengizinkanku untuk pulang. Apalagi kali ini aku membawa motor sendiri. Jika aku memaksa, sampai di rumah Bunda pasti sudah petang. Aku sudah menghubungi Bunda dan bilang kalau menginap disini. Bunda sudah mengiyakan.

Setelah melaksanakan sholat maghrib, aku langsung rebahan di kamar. Badanku sedang tidak enak sekarang. Sepertinya berkendara tanpa menggunakan jaket dengan jarak sejauh ini membuatku masuk angin. Ibu mengangsurkan minyak kayu putih. Beliau juga membawa obat masuk angin, tapi aku menolaknya. Dari kecil aku memang tidak bisa minum obat dalam bentu pil atau kapsul.

“Tidur saja, Nduk. Kayaknya kamu masuk angin,” ucapnya sambil mengusap rambutku.

Aku mengangguk. “Iya, Buk. Tolong bilang sama Dafa, Roya nggak bisa temenin dia belajar.”

Ibu mengangguk lalu berjalan menuju pintu. Meninggalkanku yang mulai mengoleskan minyak kayu putih. Pikiranku melayang, mengingat apa yang sudah terjadi dengan hidupku. Tuduhanku tentang Kang Farhan selama ini ternyata salah. Dia tidak mengkhianatiku. Tapi aku tidak bisa kembali padanya. Sudah adakehidupan baru yang harus aku jaga keharmonisannya.

Harusnya dulu Kang Farhan memberitahuku tentang ini, setidaknya aku bisa mencoba berbicara dengan ibu. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Bahkan ketika Kang Farhan meminta sambil bersimpuhpun, aku tetap tidak akan menerimanya.

Nduk.”

Sayup-sayup aku mendengar suara ibu. Perlahan mataku terbuka. Yang pertama kali aku lihat adalah lampu kamar yang menyala dengan terang di atasku. Saat aku mengedarkan pandangan, aku sadar sedang berada di kamar yang jarang aku tempati.

“Bangun. Ada Arkan.” Ibu duduk di sebelah ku yang masih berbaring. Seketika aku mencoba untuk duduk meski masih lemas.

“Dimana, Buk?”

“Itu, di dep-“

Lihat selengkapnya