.“Katakan apa yang membuatmu marah. Aku bukan malaikat yang bisa tahu dengan sendirinya.”
//==//
Saat hari minggu, biasanya aku dan Gus Arkan akan menghabiskan waktu pagi dengan mendatangi taman kota. Dia selalu bilang harus ada waktu istimewa untuk mempererat keharmonisan pasangan. Sayangnya tidak untuk kali ini. Setelah mengajar di pesantren, dia memilih pergi ke pabrik. Padahal pabrik selalu tutup saat hari minggu.
Aku semakin merasa gelisah karena sejak pulang dari rumah ibu, tidak satu katapun yang keluar dari bibir Gus Arkan. Dia diam seribu Bahasa. Tidak ada sarapan pagi dengan senyum dan rayuannya di depan Bunda. Bunda juga tidak berani menegurnya. Bunda bilang, kalau Gus Arkan sedang mendadak menjadi pendiam, tunggu sampai dia bersuara kembali. Tidak ada gunanya memaksanya untuk bersuara.
“Kok nggak dimakan?” tanya Bunda yang melihatku hanya mengaduk makanan di piring tanpa dengan malas.
“Ah iya, Bun.” Aku segera menyuapkan nasi yang sudah berlumur dengan sayur. Sekuat tenaga aku menelannya, dan akhirnya berhasil.
“Kamu sakit?” tanya Bunda khawatir.
Aku menggeleng. Hatiku yang sakit, Bun. Gus Arkan mendiamakanku semalaman. “Nggak, Bun. Udah lama nggak makan buncis, jadi agak aneh.”
“Mau Bunda masakin?”
“Nggak, Bun. Ini udah.”
Aku segera menghabiskan makananku. Tidak enak dengan Bunda yang yang berniat membuatkan makanan lagi untukku. Meski hanya menantu, Bunda memperlakukanku seperti anak kandungnya. Tidak sekalipun Bunda terlihat tidak suka. Makanya aku juga betah tinggal disini. Ibu dan Bunda sama-sama terbaik.
Sampai sore hari, Gus Arkan tidak juga pulang. Belasan chat yang aku kirimkan tidak satupun dibalasnya. Hanya dibaca saja. Saat aku mencoba menelpon, panggilan akan langsung ditolak. Aku tidak suka diperlakukan seperti ini. Lebih baik dimarahi daripada didiamkan.
Aku bersandar di dinding tempat tidur. Mentap kamar yang kini terasa sunyi dan dingin. Sejak semalam, semuanya menjadi begitu meyesakkan. Belum lagi kondisi tubuhku yang belum membaik. Rupanya masuk angin tadi malam berimbas pada stamina tubuhku yang menurun. Kepalaku semakin pusing, dan tanpa aku sadari badanku mulai demam.
Aku segera mengambil obat penurun demam yang berbentuk sirup. Meminumnya lalu beristirahat. Semoga setelah bangun, kondisiku membaik. Aku tidak ingin terlihat lemah dan dianggap hanya mencari perhatian saja. Aku akan mencari cara agar Gus Arkan bisa segera memafkanku.
…
Ceklek!
Aku menoleh saat mendengar pintu kamar yang terbuka. Gus Arkan masuk sambil melepas kemeja yang dipakainya. Aku langsung berjalan mendekat dan menyerahkan handuk. Sayangnya dia hanya melewatiku tanpa berniat menerima handuk yang aku bawa untuknya.
Aku tidak menyerah. Berjalan menuju lemari dan mengambil pakaian untuknya. Baju koko dan sarung berwarna hitam menjadi pilihanku. Keduanya juga sudah aku setrika dengan rapih. Sambil menunggu Gus Arkan kembali dari kamar mandi, aku membaca buku tentang masakan. Tidak baik bermain ponsel saat suami sedang marah.
Ekor mataku menangkap Gus Arkan yng berjalan menuju lemari. Aku tidak mendengar pintu kamar mandi terbuka. Dia hanya mengenakan handuk selutut. Dengan sigap aku berdiri, mengambil baju dan sarung yang sudah aku siapkan. Memberikannya pada Gus Arkan yang seperti kebingungan memilih baju. Maklum saja, setelah menikah aku mengganti tatanan baju di lemarinya. Sejak itu dia tidak lagi mengambil baju sendiri. Bahkan untuk membuka lemari saja tidak pernah.
“Ini bajunya,” ucapku sambil menyodorkan baju dan sarung. Gus Arkan hanya melirikku sekilas, lalu kembali menatap lemari yang sepertinya lebih menarik dibanding aku, istrinya.