SEPASANG SANDAL

Imroatul Mughafadoh
Chapter #33

32. Sepasang Sandal

“Kita itu seperti sepasang sandal, selalu bersama dan berjalan beriringan. Tanpamu, aku bukan apa-apa. Begitu sebaliknya.”

//==//

Semenjak kepergiannya dengan alasan pekerjaan. Gus Arkan belum kembali ke rumah. Buda juga sudah berkali-kali menanyakannya, dan berkali-kali juga aku menjawab kalau dia ada pekerjaan di luar. Aku juga bilang kalau hubungan kami baik-baik saja saat Bunda menanyakan apa sebelumnya terjadi pertengkaran. Bagiku, rumah tangga itu urusan pribadi. Tidak ada yang boleh tahu kecuali aku dan suamiku. Meskipun kali ini, aku hampir menyerah memperjuangkannya.

“Roya. Wajah kamu pucat sekali, kamu sakit?” tanya Bunda dengan nada khawatir.

Aku menggeleng. “Nggak, Bun. Roya cuma mengantuk,” jawabku mencoba untuk menutupi keadaan. Sebenarnya semenjak pulang dari rumah ibu, kondisiku belum membaik. Tapi aku tidak pernah mengatakannya pada siapapun.

“Kamu sakit, Nak.”

Bunda memapahku duduk di ruang makan. Beliau menyentuh keningku kemudian memijat tengkukku. “Makan dulu, Ya.” Aku bisa melihat ayah juga khawatir. Harusnya aku tidak seperti ini.

“Iya, Yah.”

Bunda mengambilkan makanan ke piringku. Menuangkan nasi dan lauk dengan porsi yang sangat banyak. Membuatku kenyang hanya dengan melihatnya saja. Bunda berlebihan sekali.

“Kebanyakan, Bun. Roya nggak sebanyak itu makannya.”

Aku hanya tersenyum melihat Ayah mengingatkan Bunda. “Nggak apa-apa, Yah. Roya kuat ngabisin ini,” ucapku sambil tertawa. Sayangnya Ayah dan Bunda malah menatapku dengan serius. Membuat salah tingkah sendiri.

“Arkan kapan pulang? Ayah telpon tidak pernah diangkat.”

Baik Ayah maupun Bunda menunggu jawabanku. Sebenarnya aku juga sama dengan mereka. Tapi untuk kali ini, aku tidak akan mengatakannya. “Mungkin besok, Yah, Bun.” Kalau tidak salah. Aku juga tidak tahu dimana sekarang posisinya berada.

“Kalian ada masalah?” kini Bunda yang bertanya.

“Nggak, Bun. Semuanya baik-baik saja.” Hanya salah paham. Dan aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Gus Arkan sekarang.

“Syukurlah.”

Ayah kembali melanjutkan makannya, begitu juga dengan ibu. sampai acara sarapan pagi selesai, tidak ada lagi yang membahas Gus Arkan. meski aku sangat merindukannya, kepergiannya membuatku merasa terbuang.

Tiga hari ini dia sudah pergi tanpa kabar. Membuatku tidak memilki nafsu makan sedikitpun. Sejak pagi hingga malam, aku hanya minum air putih. Kebetulan juga, tiga hari ini Bunda dan Ayah tidak pernah sempat sarapan bersama. Membuat mereka tidak tahu apa yang terjadi denganku.

Sekuat mungkin aku menghabiskan makanan yang sudah Bunda tuangkan ke piringku. Meski terasa sangat banyak, aku akan melakukannya agar Bunda dan Ayah tidak curiga kalau sebenarnya menantunya ini sedang tidak sehat. Ayah lebih dulu beranjak, beliau bilang akan mengisi kegiatan madrasah pagi.

Aku sudah selesai dengan makananku. Membereskan piring kotor dan akan membawanya ke dapur. Tiba-tiba aku mual, makanan yang susah payah aku makan sudah berteriak ingin keluar. Mungkin karena beberapa hari tidak makan, membuat perutku sangat sakit. Piring yang aku bawa juga sudah jatuh ke lantai. Menimbulkan bunyi gemerincing. Saat pandanganku mulai mengabur, sayup-sayup aku mendengar Bunda memanggil Ayah. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi, karena setelahnya semuanya gelap.

Lihat selengkapnya