Pertama kali melihat Roya, aku langsung ingin menikahinya. Seperti ada bisikan ditelingaku yang mengatakan, ‘dia calon istrimu’. Pertemuan kami bermula saat aku menemani menemani Alfin menjaga kelahiran anak keduanya, Hulya. Aku melihat Roya yang lari tergopoh-gopoh di koridor rumah sakit menuju ruang persalinan Nadia, istrinya Alfin.
Sebagai seorang manusia social, aku kasihan melihatnya yang kelelahan dan berkucur keringat. Sayangnya saat aku menawari minuman untuknya, dia menolak dengan halus dan penuh takdzim. Saat itulah, aku mulai tertarik padanya. Dia begitu menawan dengan balutan tawadhu’ ala santri.
Dengan keyakinan dan modal wejangan dari pamanku yang merupakan ayah Alfin, aku beranikan diri mendatangi ibunya. Meski belum mengiyakan, aku tahu ibunya membuka jalan untukku. Sekuat tenaga aku mencoba mengambil hatinya. Sampai suatu hari dia menolakku dan lebih memilih kekasihnya.
“Mas, suapin.”
Dengan senang hati aku menyuapi istriku yang sedang ngidam dan banyak maunya ini. Meski sempat menyerah karena penolakannya, ternyata takdir membawanya menjadi milikku dengan jalan yang sangat istimewa.
“Mau lagi?” tanyaku saat semangkuk bubur ayam yang ada di mangkuk bergambar bakso ini sudah habis.