Waktu baru saja berjalan lima menit. Namun Syams sudah begitu bosan dengan buku-buku yang ada di depannya. Syams kemudian memutuskan untuk keluar rumah.Ia pun mengambil bolanya dan mulai bermain seorang diri di halaman rumahnya. Ia menendang bola kesana kemari. Tidak peduli bahwa ia tidak memiliki teman bermain. Ia tetap melakukannya.
“Daripada belajar terus-menerus. Kalau sudah dewasa nanti, aku akan menjadi orang yang pandai. Ujung-ujungnya aku disuruh apak untuk menjadi seorang pengusaha. Percuma aku belajar serajin mungkin dan menjadi sepintar mungkin kalau aku tidak bisa menggapai cita-citaku. Lebih baik aku bermain saja. Setidaknya aku bisa melupakan perlakuan yang begitu tidak adil yang apak lakukan pada anak-anaknya,” gumam Syams.
Syams kembali menendang bola yang ada di depannya. Ia tak memperdulikan lagi tentang buku-buku sejarah yang akan dibelinya. Bahkan ketika Halim mengajaknya untuk membeli buku baru, ia langsung menolaknya mentah-mentah Halim tak mengerti tentang sikap yang ditunjukkan oleh adik kesayangannya padanya itu. Tetapi ia tak memasukkan permasalahan itu dalam hatinya. Ia menganggapnya sebagai hal yang wajar yang sering dilakukan oleh anak-anak.
Jarum jam menunjukkan pukul 19.30 WIB. Aisyah, Aziz, dan Nashir duduk berjajar di ruang keluarga. Masing-masing dari mereka disibukkan dengan tugas sekolah mereka. Namun saat-saat yang seharusnya membutuhkan konsentrasi yang tinggi itu malah menjadi pecah saat sebuah pesawat mainan jatuh di depan mereka. Mereka yang telah mengetahui tentang pemilik pesawat mainan tersebut menjadi sangat geram.
Pandangan mata mereka langsung tertuju pada Syams. Menatap wajah Syams yang sedang berdiri tak jauh dari tempat duduk mereka.
”Syams! Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu tidak tahu kalau ini adalah waktu belajar? Kenapa kamu malah mengganggu kami?” bentak Nashir.
“Apa kamu tidak mempunyai tugas sekolah? Apa kamu tidak belajar hari ini?" sambung Aziz.
“Iya. Biasanya ka u paling bersemangat saat belajar. Kenapa hari ini kamu tidak mau belajar?” lanjut Aisyah.
“Iya, memang benar. Aku memang sudah bosan belajar. Lagipula untuk apa aku belajar jika aku tidak diperbolehkan untuk mendapatkan apa yang aku inginkan? Di kemudian hari, aku hanya akan menuruti perintah apak untuk menjadi seorang pengusaha. Jadi untuk apa aku meluangkan waktuku untuk menderita di masa depan? Lebih baik aku bermain saja,” jawab Syams dengan nada tinggi.
Syams langsung mendekati ketiga kakaknya dan mengambil mainannya yang terletak di atas meja. Ia lalu meninggalkan ruang keluarga tersebut dengan penuh kemarahan. Di sisi lain, Halim yang sejak lama memperhatikan ketiga adiknya yang begitu semangat dalam belajar, seketika hatinya merasa begitu teriris setelah mendengar semua pernyataan Syams. Air matanya mulai mengalir di pipinya. Ia mencoba untuk menghapusnya. Namun air mata itu terus mengalir.