Matahari telah condong ke sebelah barat. Udara sejuk perlahan juga mulai menyisip di kolong langit sebelah selatan kota Jakarta. Hal ini menandakan bahwa kelas terakhir yang tengah Yoga dan Hendi ikuti telah hampir usai dilaksanakan.
Suasana kampus hari ini tampak biasa saja. Proses belajar mengajar juga berjalan sebagaimana mestinya. Semua tampak normal-normal saja; benar-benar tak ada yang begitu istimewa dengan Kamis ini. Bahkan, Patrick, si penjaga perpustakaan, pun mukanya tetap kelihatan mesum seperti yang sudah-sudah. Maka, usai mengikuti kelas terakhirnya, dua sahabat setia yang suka makan sepiring berdua itu pun tak ingin berlama-lama. Mereka langsung capcus menuju parkiran sepeda motor di halaman kampus.
“Jadi, kan, kita langsung ke Mall?” kata Hendi sambil terus menampilkan ekspresi semringahnya. Tubuhnya yang lumayan gempal kali ini tak menjadi penghalang untuk membuatnya melangkah dengan gesit. Maklum, kebetulan hari ini adalah jadwal rilis edisi terbaru dari serial komik yang paling digemarinya.
“Aduh, sorry banget, bro… gue ada acara. Besok aja, yah?” sahut Yoga, meski menampilkan ekspresi menyesal, namun pandangannya tetap fokus pada timeline aplikasi X di handphone-nya.
“Lha, gimana, sih? Kan semalem lo udah janji?”
“Yah, besok-besok kan bisa. Nggak bakal kehabisan ini, kan?”
Hendi mood-nya berubah. “Ah, nggak asyik banget, lo, bro… lagian tumben banget, pake ada acara segala. Acara apaan, sih?”
“Anak-anak teater ngajak gue meeting.”
“Lho, bukan katanya lo udah nggak ikutan lagi? Apa lagi-lagi ini demi si gadis impian lo itu?”
“Gitu deh….” Yoga nyengir.
“Di mana? Di sini?”
“Bukan, di kafe deket Taman Ria Rio,” jelas Yoga sembari menutup layar handphone-nya, sementara mereka telah berhenti tepat di depan sepeda motor milik Hendi yang terselip di antara barisan motor lainnya yang tersusun rapi. “Mending lo ikut gue aja, lah! Kan kalo si Sandra hadir, kemungkinan besar si Erin juga ada. Siapa tahu aja ini hari keberuntungan kita.”
Mendengar Yoga menyebut nama Erin, Hendi menghela napas. Raut semangat yang tadi sempat membingkai, kini berganti lesu.
“Kayaknya gue mau nyerah aja, deh, buat dapetin si Erin. Kalau nasihat om gue sih, katanya gue itu harus bisa lebih sadar diri. Perbedaan dia sama gue itu udah kayak langit dan bumi. Dia di sana, aku di sini. Lagian, kayak nggak ada cewek yang lain aja. Masih banyak janda-janda muda di luar sana yang membutuhkan perhatian dan belaian pria.”
“Yah, payah, lo, bro… berarti lo belum pernah baca puisinya Jalaluddin Rumi, yang menjelaskan bahwa langit dan bumi itu sebenarnya adalah simbol dari sepasang kekasih, karena mereka saling melengkapi.”
Hendi pun terdiam, merasa begitu sulit untuk menerima ataupun membantah ucapan Yoga yang cukup menohok itu.
“Ah, tahu deh,” Hendi tetap lesu. “Ya udah deh, kalo gitu, gue balik duluan aja.”
“Oke deh, kalau memang begitu. Hati-hati, yah! Jangan lupa, kalau di tengah jalan ada razia jomlo, segera putar balik!”
“Sue…,” pekik Hendi melotot. “Kayak lo sendiri bukan jomlo aja.”
* * *
Seperti halnya Hendi, Yoga juga bergegas meninggalkan kampus untuk langsung menuju lokasi tempat meeting diadakan. Kali ini, dia memang harus naik TransJakarta. Maklum, motor tuanya sudah hampir tiga bulan dibiarkan menginap di bengkel. Sebenarnya sih, rusaknya nggak parah-parah amat, cuma dompetnya aja yang lagi kering, kayak kulit dijemur. Ah, tapi untuk urusan yang ada hubungannya dengan si cantik Sandra, dia tetap memberanikan diri untuk pinjam uang buat pegangan sama teman sekampusnya yang lain. Maklum, kalau sama si Hendi, sudah tak terhitung lagi.
Seperti biasanya, di waktu petang, TransJakarta selalu dibanjiri penumpang. Walau belakangan masih kerap terbetik kabar tindak kriminal pelecehan seksual terhadap perempuan, tampaknya hal menyeramkan semacam itu tak mungkin terjadi di dalam bus yang tengah Yoga naiki, karena yang mendominasi, rata-rata hanyalah wanita paruh baya. Ada juga sih yang kelihatan seksi, tapi itu cuma banci remaja yang lagi ikut-ikutan tren Korean style kayak di TV-TV.
Entah mungkin karena saking khusyuknya menikmati musik dari headset yang terhubung dengan HP Android-nya, Yoga tak sadar kalau halte tujuannya turun sudah terlewati. Dia baru engah ketika bus telah kembali berhenti di halte berikutnya. Tentunya, mau tidak mau, dia harus segera turun untuk berpindah ke halte yang ada di seberang jalan, agar dapat kembali pada rute tujuan. Biar nggak kelihatan bego, dia terus melangkah dengan begitu santainya, sambil sesekali bergaya mengikuti alunan irama musik yang menggema di telinganya.
Tak sama dengan beberapa halte yang sudah sempat ia sambangi, halte ini tampak sepi. Cuma ada empat orang: tiga orang perempuan dan satu orang pria. Dua orang perempuan yang sudah ibu-ibu, serta seorang pria yang belum terlalu tua, duduk satu baris di bangku panjang di belakang, sementara perempuan yang satunya lagi berdiri tepat di depan pintu masuk penumpang, sambil asyik memainkan jari di atas layar touchscreen smartphone canggihnya.
Yoga memilih berdiri di depan pintu masuk penumpang, tentunya agar dapat segera masuk saat bus datang. Ibu-ibu cantik yang berdiri tepat di sebelahnya tampak begitu sedap dipandang. Penampilannya terlihat nyentrik, bak biduan dangdut di acara-acara hajatan. Walau sudah tak terlalu muda, namun masih begitu menggoda. Mungkin inilah yang sering disebut-sebut oleh kids zaman now dengan istilah mahmud. Meski demikian, Yoga tetap tampak tenang berdiri. Sekalipun semerbak harum aroma parfum yang tercium dari tubuh si mahmud sempat menimbulkan desiran kuat di dadanya, namun rupanya dia cukup mampu menahan diri untuk tidak bertingkah gila.
Tak diduga, beberapa menit berselang, tiba-tiba si mahmud teriak histeris.
“Copet…! Copet…!”
Yup, tidak salah lagi, si mahmud tasnya dicopet. Pencopetnya tidak lain adalah pria yang duduk di belakang tadi. Menyadari itu, Yoga pun terperanjat, hingga refleks bergegas mengejar si pencopet laknat. Dia berlari cepat beriringan dengan si mahmud. Namun, saat baru sampai di mulut pintu keluar halte, tiba-tiba ia memutuskan menghentikan langkahnya. Rupanya, dia berubah pikiran. Menurutnya, mengejar si pencopet itu akan membuatnya jadi terlambat menghadiri meeting. Lagipula, saat kembali masuk ke halte nanti, dia musti bayar lagi. Pastinya, itu masalah besar buatnya yang sementara ini memang sedang amat sangat bokek.
“Kenapa, Mas? Kok berhenti, sih?” ujar si mahmud, juga ikut menghentikan langkahnya, sementara si pencopet terus berlari semakin jauh tanpa ada satu pun orang yang coba mengejarnya.
“Aduh, maaf, Mbak, saya baru inget. Saat ini saya sedang buru-buru.”
“Lho, kok tega banget, sih, Mas?” sungut si mahmud, jidatnya makin mengerut.
“Maaf, Mbak, bukannya saya nggak mau peduli, tapi ini menyangkut masa depan saya.”
“Aduh... tolongin deh, Mas!” si mahmud wajahnya berubah memelas, bahkan hampir terlihat menangis. “Kalau uangnya sih nggak masalah, yang penting barang berharga saya.”
Yoga mengernyit sambil garuk-garuk kepala. “Aduh, gimana, ya, Mbak?”
“Berapa pun saya bayar deh, Mas, yang penting barang berharga saya bisa balik.”
Yoga pun tersentak mendengar tawaran menggiurkan itu. Tapi, kemudian dia segera menyimpulkan bahwa apa yang diucapkan si mahmud itu tidak lain hanyalah sebuah ekspresi biasa dari orang yang sedang panik. Seandainya pun benar dibayar, ya, paling cuma gocap. Dia pun hanya diam.
“Apa 100 juta cukup?” lanjut si mahmud, pasang muka serius.
Yoga matanya melotot, hingga hampir copot.
“Ah, yang bener, Mbak?”
“Iya, serius... apa perlu saya kasih uang mukanya dulu biar si Mas percaya?”
Yoga tak begitu saja langsung mengubah pikirannya. Malah, dia sempat berpikir, bisa jadi ini adalah sebuah modus penipuan, yang mana target sebenarnya adalah dirinya. Tapi, di sisi lain, dia juga cukup tertarik. Betapa tidak? Dengan uang 100 juta, tentu dapat mengubah hidupnya. Yah, minimal, dia jadi punya kesempatan untuk segera turun takhta dari gelar jones-nya.