Yoga terus tenggelam dalam lamunan di kursi panjang sendirian. Tak lama, tiba-tiba seorang pengemis setengah tua—berpenampilan the kill and the kumel—datang menghampirinya.
“Mas... minta sedekahnya, Mas…,” gumam si pengemis memelas.
Yoga melirik muka si pengemis dengan pandangan sinis. Disorotnya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Maaf, Pak. Kalau saya perhatikan, Bapak ini masih terlihat cukup muda dan juga sehat. Kenapa mengemis? Kenapa nggak coba cari pekerjaan saja?” julid Yoga sambil mengernyit.
“Mau kerja apa, Mas? Lah wong SD aja saya nggak lulus.”
“Yah, apa kek. Gali kuburan kek. Atau kalau nggak mau kerja, jualan apa kek. Yang penting halal, Pak.”
“Yah, saya juga maunya sih gitu. Cuma, mungkin belum ada kesempatannya aja kali, Mas.”
“Ya... tapi kalau kayak gini, Bapak sama saja merendahkan martabat Bapak sendiri.”
“Jangan gitu dong, Mas... saya jadi merasa tersinggung lho. Mas nggak pernah jadi pengemis sih, jadi nggak bisa ngerti perasaan kami.”
Yoga melotot. Mendengar bantahan si pengemis, yang menurutnya sangat nggak logis, membuat ekspresinya berubah sangar. Bibirnya bersiap melepaskan argumen-argumen mematikan.
“Oh, oke, oke, oke. Gini aja deh, Mas,” tutur si pengemis, memahami ekspresi Yoga yang tampak memberang. “Biar sama-sama enak, gimana kalau Mas bayarin barang saya saja?”
“Barang? Barang apaan?”
Si pengemis pun bergegas mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya yang terbuat dari plastik kresek hitam buluk, yang terhubung dengan tali plastik merah yang menyilang di tubuhnya.
“Ini, Mas!” ucap si pengemis sembari menyodorkan barangnya, yang rupanya itu adalah sebuah sepatu warrior yang sudah begitu usang, baunya kayak udah nggak pernah dicuci ribuan tahun. Rupa dan warnanya pun juga sudah tak karuan; mungkin benda itu lebih pantas disebut fosil daripada sepatu.
Yoga pun tertawa cekikikan.
“Hah, sepatu butut gitu, buat apaan?”
“Tapi ini merek luar negeri lho, Mas.”
“Ya... kalo udah butut, mana bisa dipake. Mana cuma sebelah pula.” Yoga terus terkekeh.
“Hmm, tapi jangan salah, Mas. Ini sepatu bukan sembarang sepatu, ini sepatu keramat.”
Yoga tertawa semakin ngakak, hingga air liurnya sempat muncrat lumayan banyak.
“Udah deh, Pak. Saya ini mahasiswa, orang terpelajar. Saya nggak bakalan ketipu sama modus jadul kayak gitu.”
Si pengemis terdiam, seakan sudah kehabisan kata-kata untuk meyakinkan Yoga atas kualitas barangnya.
Di sisi lain, meski Yoga sedikit bete karena merasa dikibuli, dia juga cukup menghargai effort pengemis itu untuk coba berjualan. Menurutnya, itu jauh lebih baik daripada mengemis. Yah, walau tentunya dia juga tetap tidak setuju dengan cara berbisnis yang mengandung unsur menipu seperti itu.
“Ya udah deh, saya bayarin. Berapa harganya?” kata Yoga sembari segera merogoh saku depan celananya mencari uang kecil.
“Satu juta, Mas.”
Yoga terperanjat, membuat kepalanya hampir melesak ke belakang. Mulutnya menganga, matanya mendelik.
“Gila!” umpatnya keras. “Aduh, udah deh, Pak. Nggak usah terus coba tipu saya. Percuma, nggak mempan. Bahkan, kalau Bapak mau coba hipnotis saya pun percuma. Saya nggak punya apa-apa.”
“Ya sudah, Mas. Berapa aja deh,” si pengemis nyengir.
Yoga mendengus sembari senyum menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya makin bete, namun karena juga ada rasa kasihan, dia pun tetap menyodorkan selembar uang dua ribuan lecek.
“Buset, dua ribu perak? Buat beli apaan?” si pengemis melongo.
“Mau nggak?” tegas Yoga melotot.
“Tambahin lagi deh, Mas!” si pengemis kembali berubah memelas.
“Ya udah, nih. Saya tambahin delapan ribu lagi, jadi ceban.”
Walau sempat agak bimbang, namun akhirnya si pengemis pun menerima uangnya, lalu memberikan sepatu bututnya. Tanpa banyak berkata lagi, dia pun segera pergi.
Yoga membuka layar handphone-nya untuk melihat pesan WhatsApp yang sempat masuk saat mengobrol dengan si pengemis tadi. Tapi kemudian, dia menyesal karena rupanya itu cuma broadcast nggak bermutu dari sebuah grup yang nggak jelas. Lalu, dia membuka akun Facebook-nya, meninjau status terbaru dari akun pujaan hatinya, Sandra. Namun, dia juga tidak menemukan apa-apa, kecuali pemberitahuan penggantian foto profil yang sudah lebih dari seminggu lalu. Tapi, dia menyempatkan diri menatap foto profil itu cukup lama, sembari terus memasang wajah mupeng, berharap senyum manis dari foto itu memang dihadiahkan khusus untuknya.
Yoga membuka layar handphone-nya, untuk melihat pesan WhatsApp yang sempat masuk saat mengobrol dengan si pengemis tadi. Tapi kemudian dia menyesal, karena rupanya itu cuma broadcast nggak bermutu dari sebuah grup yang nggak jelas. Lalu dia membuka akun facebook-nya, meninjau status terbaru dari akun pujaan hatinya, Sandra. Namun dia juga tidak menemukan apa-apa, kecuali pemberitahuan penggantian foto profile yang sudah lebih dari seminggu yang lalu. Tapi dia menyempatkan diri menatap foto profile itu cukup lama, sembari terus memasang wajah mupeng, berharap senyum manis dari foto itu memang dihadiahkan khusus untuknya.
Kecantikan Sandra memang di atas rata-rata. Perawakannya yang tinggi semampai, kulitnya yang putih cerah, hidungnya yang mancung nan anggun, serta bola matanya yang kebiruan, membuatnya begitu indah sempurna. Konon, kecantikannya itu diturunkan dari mendiang ibunya, yang merupakan seorang titisan manusia dari benua biru, yang memang dikenal memiliki keindahan fisik sejak dahulu. Pastinya, bukan hanya Yoga; para mahasiswa lain di kampusnya juga sangat mendambakannya. Tak sedikit yang membicarakannya saat berkumpul, bahkan sampai ada yang mengarang lagu tentangnya, yang kemudian waktu nongkrong dinyanyikan sama-sama. Yah, sepertinya Yoga memang harus benar-benar berusaha ekstra keras lagi bila ingin mendapatkannya.
Tak lama kemudian, Yoga pun memasukkan kembali handphone-nya ke saku celana, karena langit telah memberi tanda untuknya agar segera pulang ke kos-kosan.
Tak disangka, saat dia baru bergerak satu langkah, tiba-tiba dia harus tertahan karena mendengar suara peluit yang begitu keras dari arah belakang. Rupanya, suara peluit itu berasal dari seorang polisi berseragam lengkap yang tampak terus bergerak mendekatinya.
“Selamat sore!” seru si polisi dengan nada tegas.
“Ya, sore juga, Pak!” balas Yoga sedikit bingung. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Apa Anda tidak bisa membaca?” bentak si polisi.
“Apa? Baca?” Yoga semakin bingung, mengerutkan dahinya. “Ya bisalah, Pak. Saya ini kan mahasiswa. Malah sebentar lagi mau lulus jadi sarjana.”
“Apa Anda tidak membaca peraturan itu?” lanjut si polisi dengan nada lebih tegas, sembari menunjuk ke arah papan pengumuman besar yang agak jauh dari belakang bangku panjang tempat Yoga duduk tadi. Papan pengumuman itu bertuliskan: ‘Dilarang buang sampah sembarangan di sini!’
“Wah, bagus banget itu, Pak. Sangat inspiratif,” sahut Yoga bergelora.
“Lalu, itu apa?” geram si polisi, sembari menunjuk ke arah sepatu butut yang teronggok di atas bangku panjang.
Yoga pun terkesiap. Dia baru sadar belum sempat membuang sepatu butut yang dibelinya tadi. “Oh iya, maaf, saya lupa. Sepatu saya ketinggalan,” ucapnya nyengir, lalu bergegas mengambilnya.
“Akh… gimana sih kamu?”
“Iya, maaf deh, Pak. Namanya juga lupa. Lupa kan berarti nggak inget, hehehe.” Yoga nyengir kuda. “Baiklah, kalau begitu, saya permisi,” lanjutnya sembari mengangkat sebelah tangannya memberi hormat. “Selamat bertugas! Assalamu’alaikum!”
Yoga pun bergegas keluar dari taman. Dia terus saja menenteng sepatu bututnya, lantaran sejauh ini dia belum juga menemukan keberadaan sebuah tong sampah untuk membuangnya. Dia terus berjalan mencari halte TransJakarta terdekat untuk segera pulang. Di tengah langkah santainya, perutnya tiba-tiba keroncongan. Maklum, sejak pagi tadi, dia cuma sempat makan sepotong bakwan yang dibagi Hendi. Berhubung dia berniat untuk masak mie instan di tempat kosnya nanti, saat dia berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan, dia hanya berniat membeli satu buah permen karet, yang menurutnya bisa sedikit mengganjal perut. Atau paling tidak membuatnya jadi nggak kelihatan banget kayak orang kelaparan, karena mulutnya terus mengunyah.
Ketika hendak mengambil uang receh dari saku celananya, dia pun baru sadar kalau sepatu bututnya masih terus terkempit di bawah ketiaknya. Tanpa banyak berpikir—dengan begitu santai, kayak lagi boker di sungai—dilemparnya sepatu rombeng itu ke arah belakang tanpa sedikit pun menoleh.
Cukup kuat rupanya dia melempar, membuat sepatu itu melambung lumayan tinggi, yang kemudian tanpa diduga mendarat tepat di atas panci tukang bakso yang penutupnya tengah terbuka, karena si tukang bakso sedang melayani pembeli.
“Bangsat…! Kerjaan siapa nih?” pekik si tukang bakso, luar biasa murka. Dia pun bergegas menengok ke arah para pelanggannya, siap menghabisi pelakunya.
Gadis remaja lugu yang duduk paling ujung barisan pelanggan yang tengah mengantre giliran menunjuk jarinya ke arah Yoga yang tak jauh di seberang sana, seraya mengisyaratkan kalau dialah pelakunya.
Si tukang bakso kesetanan. Dengan sebelah tangan menenteng centong kuahnya yang bergagang panjang, dan tangan lainnya menenteng sepatu butut yang sudah berlumuran kuah bakso, dia pun berjalan cepat menyamperi Yoga. Beberapa pelanggannya juga tampak berduyun membuntutinya.
“Woi, bangsat! Ngajak gue ribut, lo?” pekik si tukang bakso, mendelik.
Yoga pun terkesiap, segera refleks memusingkan badan.
“Ada apa, ya, Mas?”
“Apa-apaan maksud lo? Ngajak gue berantem?” Si tukang bakso matanya terus menyala, wajahnya makin sangar, seperti kucing terinjak buntutnya.