Matahari perlahan mulai terbit di ufuk timur, namun cahayanya yang terang tak mampu menembus tebalnya dinding ruang tahanan sementara tempat mereka bersemayam. Langit memang begitu cerah pagi ini, tapi sayangnya tak sanggup mencerahkan hati kedua mahasiswa yang tengah dilanda kegalauan itu.
Tepat pukul 06.00, Yoga dan Hendi masih terlelap di tengah suasana yang begitu senyap. Ruang tahanan sementara yang begitu kotor, bau, serta dipenuhi binatang-binatang menjijikkan, rupanya tak menghalangi mereka untuk terus tertidur dengan nyenyak. Tentu itu akibat rasa letih yang sudah tak tertahan lagi.
“Hei, bangun, bangun!” tegas seorang petugas polisi, sembari mengguncang-guncang tubuh Yoga dan Hendi bergantian dengan kaki bersepatu PDL.
Melihat si petugas berwajah garang—kelopak mata yang terlalu berat untuk diangkat—tak menghalangi mereka untuk segera bangkit.
Mereka berdua pun segera dibawa kembali ke ruang laporan. Di sana sudah ada sang komandan yang tengah asyik menikmati kopi paginya sambil membaca koran.
“Saudara Yoga dan Saudara Hendi,” tegas sang komandan dengan suara lantang, membuat mereka berdua yang sudah duduk di hadapannya segera mengangkat kepala lebih tegak. “Kalian telah dibebaskan dari tuduhan, karena terbukti tidak bersalah,” lanjut sang komandan, membuat Yoga dan Hendi langsung membuka senyuman sambil saling berpandangan. “Tapi tentunya lain kali kalian harus lebih berhati-hati, dan jangan sampai berbuat yang aneh-aneh lagi! Mengerti?”
“Mengerti, Pak,” mereka berdua serempak menyahut, sambil menganggukkan kepala.
“E… kalau begitu, kami langsung pamit deh, Pak. Soalnya, kami harus kuliah,” ucap Yoga.
“Ya sudah. Belajar yang rajin, yah! Jangan sampai jadi orang yang menyusahkan!” Sang komandan sempat membuka sedikit senyumnya.
Yoga dan Hendi pun segera berdiri, lalu mengajak sang komandan berjabat tangan. Saat mereka baru berbalik badan, sang komandan tiba-tiba tersentak sambil berkata, “Oh, iya, tunggu dulu!” Lalu dia pun segera menyuruh salah seorang anak buahnya untuk mengambil sepatu butut milik mereka.
Mendengar sang komandan menyebut sepatu butut, Yoga dan Hendi kembali saling menatap, namun kali ini dengan mata terbelalak.
“E… gimana kalau sepatunya disimpan di sini saja, Pak?” kata Yoga, penuh harap.
“Hah, kamu pikir kantor ini tempat sampah, apa?” bentak sang komandan, melotot. “Kalian jangan main-main, yah! Saya bisa kembali memasukkan kalian ke sel.”
“Wah, jangan, Pak,” sahut Yoga, kecut hati.
* * *
Meski telah bebas, namun tentu tak sedikit pun kebahagiaan terpatri di wajah mereka. Tetapi, apapun yang terjadi, hari haruslah terus mereka jalani. Mereka tak ingin masa depan cerah yang selama ini mereka impikan sirna.
Mereka pulang ke kos-kosan menggunakan jasa tukang ojek. Setelah sempat mencuci muka dan berganti pakaian, mereka pun capcus menuju kampus.
Suasana dalam kampus terasa normal seperti biasanya, karena malam buruk yang mereka alami tentu tak tersiar sampai ke sini. Usai mengikuti kelas kedua, mereka sepakat untuk bersantai guna me-refresh pikiran di tepi area selasar kampus yang kebetulan sedang tak terlalu ramai.
“Sorry ya, bro. Gara-gara gue, lo jadi ikut-ikutan kena sial,” kata Yoga dengan tatapan kosong ke depan. “Untuk sementara, sebaiknya lo balik ke rumah aja dulu deh, sampai masalah ini clear.”
“Kok lo ngomong gitu sih, bro? Bukannya kita ini sahabat? Wajar dong seorang sahabat ikut merasakan penderitaan sahabatnya.”
“Yah, gue nggak enak aja jadi nyusahin lo.”
“Lha, tumben sadar? Bukannya emang udah sering lo nyusahin gue.” Hendi nyengir. “Tenang aja, bro…! Apapun yang terjadi, gue akan selalu setia berada di samping lo,” lanjut Hendi sambil merangkul bahu Yoga dengan tangan kanannya.
“Hah,” Yoga menarik kepalanya menjauhi wajah Hendi, lalu menatap Hendi sambil mendelik. “Kalo yang ngomong kayak gitu si Sandra sih, gue seneng banget. Tapi kalo lo!”
Mereka berdua pun tertawa, membuat kegalauan rasa di hati separuh sirna.
“Eh, bro,” gumam Hendi sambil menyikut lengan Yoga, lalu menunjuk dengan bibirnya ke arah depan. Rupanya, jauh di seberang sana terlihat Sandra, Aprizal, dan juga Erin tengah melintas sambil asyik bercengkrama, menikmati masa muda yang begitu bahagia.
Yoga menatap wajah Sandra dengan sorot mata yang begitu sayu, sudah terlalu bingung mencari cara untuk mendapatkan cintanya. Wajahnya kembali lesu, lalu bergegas membuang pandangannya.
“Lho, kenapa?” Hendi mengernyit menatap Yoga. “Apa sekarang Anda sudah menyerah?”
“Gue sih nggak mau kalau dibilang nyerah. Sebab dalam kamus gue, nggak ada yang namanya kata menyerah. Selama janur kuning belum melengkung, maka kesempatan pun belum terbendung. Emm, tapi, yah… mungkin untuk sementara ini sebaiknya gue nggak usah terlalu memaksakan diri. Saat ini, gue sendiri aja masih pusing mikirin keuangan gue yang semakin hari semakin payah ini. Mungkin setelah lulus nanti, setelah gue dapet kerjaan dengan gaji lumayan, barulah kemudian gue coba deketin dia lagi.”
“Wah, kalo kayak gitu ceritanya, bisa-bisa dia keburu dilamar Datuk Maringgih, bro… dijadiin bini keempat!”
“Yah, tapi kalo yang namanya jodoh kan nggak akan kemana. Ikan tongkol di laut, dengan ayam di darat aja bisa saling berdampingan di satu etalase yang sama, padahal jelas mereka berasal dari dunia yang berbeda. Semua akan tersaji indah di warteg yang sama pada waktunya.”
Hendi manggut-manggut. Walau nyengir, tapi dia juga setuju dengan logika sederhana yang diutarakan Yoga.
“Nah, kalo lo sendiri? Bagaimana dengan si Erin yang imut kaya marmut itu? Apa benar-benar sudah tak ada lagi benih cinta yang tumbuh di hati Anda untuknya?”
“Ah, entahlah? Biarlah kisah cinta ini mengalir seperti air. Aku hanya mampu menikmati hangatnya rindu yang terus membakar kalbu.”
“Kalo begitu sih, sama aja dong kayak gue.”
“Ya, begitulah.”
Mereka berdua pun tersenyum.
Di sela mereka masih terus mengobrol, tiba-tiba Bayu datang mendekati. Dia datang bersama ceweknya, si gembrot Luna.
“Ah, gimana sih, lo? Kemarin gue tuh nungguin lo sampe maghrib tau nggak,” sungut Bayu kesal atas ketidakhadiran Yoga di acara meeting kemarin. “Mana WA gue nggak dibales-bales lagi,” lanjut Bayu sembari bergerak duduk di sebelah kanan Yoga, sementara ceweknya yang bulat kayak bakpao itu terus menempel di sebelahnya.
“Sorry, bro… kemarin gue ada urusan yang begitu mendadak. Bahkan sampe sekarang pun belum beres juga tuh urusan,” sahut Yoga yang kemudian menatap Hendi sambil mesem.
“Ya, tapi jangan gitu dong! Orang mah SMS kek, WA kek, atau kalo perlu kirim surat sekalian.”
“Yah, maafin deh... aku berjanji, tak akan mengulanginya lagi,” ungkap Yoga penuh penghayatan.
“Emm, tapi lo tetep masih mau kan, gabung lagi sama kita?”
“Waduh... kayaknya untuk sementara ini nggak bisa, bro. Saat ini gue lagi ada urusan penting, yang kemungkinan besar akan memakan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya.”
“Urusan apaan, sih?” Bayu mengernyit.
“Wah, panjang deh ceritanya.”
“Iya, bro, panjang. Bahkan lebih panjang dari naskah komedi romantis,” seloroh Hendi, nyengir.
“Yah... terus gimana dong? Kami semua sangat mengharapkan partisipasi lo, Ga,” Bayu pasang muka memelas.
“Kan yang lain banyak, bro... emang cuma gue doang apa mahasiswa yang kuliah di sini?”
Bayu melemaskan tubuhnya sembari menghela napas panjang, lalu melamun bertopang dagu. Dia dan seluruh anggota UKM teater memang sangat berharap Yoga ikut berpartisipasi dalam pertunjukkan teater yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini. Sebetulnya, sejak pertama masuk kuliah, Yoga sudah bergabung dengan UKM teater. Dia memang sangat menonjol. Selain jago akting, kemampuannya membuat lakon keren adalah kelebihannya yang tidak dimiliki anggota lain. Selama dua tahun keikutsertaannya, UKM teater selalu mampu menghadirkan pertunjukkan yang luar biasa, hingga mendapat banyak pujian dari berbagai kalangan, termasuk juga dari Pak Rektor. Bahkan, waktu itu UKM teater sempat menjadi kebanggaan bagi kampusnya, karena pernah meraih juara pertama di sebuah festival tingkat provinsi. Namun, entah apa alasannya? Di tahun ketiganya, Yoga tiba-tiba memutuskan untuk mengundurkan diri dari keanggotaan. Pasca ketidakikutsertaannya lagi, rupanya sangat berpengaruh pada beberapa pertunjukkan yang digelar kemudian. Bahkan banyak yang sampai menilainya buruk.
“Ih… Yoga punya makanan kok nggak bagi-bagi aku, sih?” Si gembrot Luna melotot menatap tas selempang Yoga yang terlihat menggembung di atas pangkuannya. Sebenarnya, yang membuat menggembung tidak lain adalah sepatu bututnya, tapi dikira si gembrot Luna adalah makanan. Maklum, dari pipinya yang kayak bakpao saja udah kelihatan banget kalau dia itu paling hobi sama yang namanya makan.
“Oh, ini bukan makanan, sayang.” Yoga memberi senyum lembutnya.
“Bohong.” Si Luna mendelik. “Indra keenam aku bisa merasakannya dengan jelas, kalo itu isinya makanan,” si Luna pun bergegas berdiri dan melangkah ke hadapan Yoga, membuat Yoga dan Hendi nyengir saling menatap. “Coba lihat sini,” lanjut Luna, coba merampas tas Yoga, namun tentunya Yoga tetap mempertahankannya dengan kuat. “Tuhkan, nggak boleh… berarti bener, pasti isinya makanan.”
Luna semakin meningkatkan kekuatannya untuk menarik tas Yoga, membuat Yoga tampak kewalahan. Sementara itu, Hendi dan juga Bayu cuma menatapnya sambil tertawa cekikikan.
“Ini bukan makanan, Neng. Nggak percaya banget sih.” Yoga mulai muak. “Bay, bokin lo kumat lagi, nih. Emang belum sempet lo empanin apa?”
“Kasih aja lah, bro!” kelakar Bayu, memperkeruh suasana. “Jangan jadi orang pelit, lah… kasihan kan si Luna kelaperan. Lihat aja badannya sampe kurus kering kayak gitu.”
“Sue…!” Yoga melotot.
Sudah barang tentu Yoga tak akan membiarkan Luna mengeluarkan sepatu butut keramatnya, namun di sisi lain dia juga sangat paham, si Luna nggak bakalan mau nyerah gitu aja. Kalau perlu, pakai ngamuk segala, kayak kuda lumping kesurupan, dan tentunya itu akan mengakibatkan kegaduhan yang dapat menghebohkan seisi kampus.
“Ini bukan makanan, Lun. Ini isinya cuma sepatu butut,” tegas Yoga sekali lagi. Namun, rupanya Luna tak peduli, rasa penasarannya sudah semakin tak terkendali, membuat Yoga akhirnya mau tak mau harus membiarkan tasnya diraih.
Luna tampak begitu semringah saat mulai coba membuka resleting tas Yoga, namun seketika ekspresinya pun berubah merengut dengan hidung mengkerut saat menyadari kalau isi tas hanyalah buku-buku dan juga sepatu butut.
“Ih, apaan nih? Jijay banget. Sepatu rombeng kayak gini pake dimasukin ke tas segala,” sungut Luna, amat kecewa.
Mungkin karena sebelumnya si Luna merasa sangat penasaran, sehingga rasa kecewanya pun menjadi luar biasa. Dia kehilangan pikirannya. Sepatu butut itu begitu saja dilempar ke arah belakangnya tanpa sedikit pun menoleh sebelumnya, yang kemudian tentu membuat Yoga dan Hendi hampir copot jantungnya.
Ya, tentu saja. Seketika kesialan pun terjadi lagi. Sepatu butut yang melambung cukup tinggi itu begitu telak mengenai wajah seorang petugas engineering kampus yang tengah mengganti lampu di langit-langit menggunakan tangga lipat setinggi dua meter lebih. Lemparan Luna memang tak terlalu kuat menghantam wajahnya, namun karena terkejut, si petugas engineering itu pun kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya roboh bersama tangga lipatnya ke sebelah kiri. Tanpa diduga, saat mendarat, si petugas engineering malang itu rupanya menimpa seorang di bawahnya, yang tidak lain istri mudanya Pak Rektor yang tengah melintas bersama dengan suaminya. Alhasil, istri mudanya Pak Rektor pun ikut rebah ditindih si petugas engineering, hingga kemudian pingsan seketika. Maka, bergegaslah para mahasiswa yang tengah berada di sekitar selasar datang mengerumuni mereka, termasuk juga Yoga dan kawan-kawannya.
Pak Rektor tampak begitu cemas menggendong istri mudanya menuju ruang perawatan kampus. Si petugas engineering masih tersadar, sehingga dia hanya dipapah oleh rekan kerjanya.
Sudah pasti, area selasar menjadi begitu riuh, apalagi semakin lama semakin banyak yang datang. Yoga menatap wajah Luna sambil melotot, membuat Luna semakin ketakutan dan akhirnya menangis, lalu segera memeluk Bayu hingga terlihat persis seperti adegan drama lebai di film-film India kesukaan ibu-ibu rumah tangga.
Sepatu butut itu tergeletak di lantai, tak ada yang mempedulikan, membuat Hendi bergegas memungutnya, lalu segera dimasukkan kembali ke dalam tas selempang Yoga.