Sepatu Butut Keramat

M Syalu
Chapter #5

Intel Gadungan

Ini bukan jadi malam yang biasa pastinya buat Yoga. Sudah lima kali dia sempat mengganti pakaiannya, hingga akhirnya, kemeja flanel biru berlengan panjang hitam kotak-kotak dengan bawahan jeans hitam yang jadi pilihannya. Tak sejengkal pun bagian tubuhnya dibiarkan terlewat dari semburan parfum, membuat semerbak harumnya sejauh sepuluh meter dapat tercium. Dan membaluri rambut dengan hair gel adalah sesi terakhir dari ritualnya berdandan.

Widih… ganteng kali rupanya Abangku ini. Mau syuting sinetron di mana, Bang?” seloroh Hendi, yang baru saja kembali dari warung membeli kopi.

“Lho, yakin lo mau pake baju kayak gitu?” Yoga bingung melihat Hendi hanya mengenakan pakaian santai seperti biasanya saat di rumah. “Oh, man… jangan malu-maluin gue dong!”

“Lho, memangnya saya diajak juga, Pak?”

“Lha, gimana sih? Ya iyalah... emang lo nggak mau PDKT sama si Erin?”

“Yah, tapi kan kalau nggak diajak malu, Pak.”

“Akh… sudah, tidak ada tapi-tapian. Cepat segera ganti pakaian!” tegas Yoga, pasang muka serius.

“Siap, Pak,” tukas Hendi tampak antusias, lalu bergegas mendekati lemari.

“Eh, tapi motor lo ada bensinnya, kan?” lanjut Yoga, sementara dia telah duduk di atas kasur mengistirahatkan kedua kakinya yang pegal karena terlalu lama berdiri di depan kaca.

“Tenang, bro! Tadi gue nemu duit gocap di bawah tumpukan baju gue di lemari. Yah, kalo cuma buat beli bensin sama jajan kuaci, cukuplah....”

Tepat pukul 18.30, mereka pun berangkat. Cukup cepat mereka tiba di lokasi, karena Yoga sudah sangat hafal jalannya.

Sandra memang berasal dari keluarga yang terbilang berada. Bahkan, rumah mewahnya ini hanyalah salah satu dari rumah milik papahnya. Sejak lama, Yoga memang mengkhawatirkan hal ini. Tapi entahlah? Seperti halnya yang dilakukan banyak orang di zaman now, mungkin dia juga ingin ikut membuktikan, bahwa perbedaan kasta bukanlah lagi penghalang untuk saling mencintai?

Seperti biasanya, Sandra selalu terlihat anggun dengan pakaian apa pun. Dia tampak begitu semringah saat melihat kedatangan Yoga, membuat Yoga merasa seakan terbang ke langit dunia. Mereka berdua pun langsung dituntun masuk ke ruang tamu.

Di ruang tamu sudah ada lima orang yang datang lebih dulu, yang tak lama kemudian menyusul empat orang lagi, sehingga jumlah seluruhnya menjadi dua belas orang. Tapi tentu itu bukanlah jumlah keseluruhan dari anggota UKM teater mereka.

“Berhubung semua yang diundang sudah hadir, bagaimana kalau kita mulai saja acaranya?” kata Aprizal yang terlihat begitu tampan malam ini, membuat Yoga rasanya harus berpikir seribu kali untuk coba menyaingi.

Mendengar itu, semua segera terdiam sembari menegakkan posisi duduk. Bahkan si gembul Luna yang tengah asyik menikmati wafer coklatnya pun segera berhenti, kemudian pasang muka serius. Aprizal memberi sambutan seraya membuka acara. Kata-kata sambutan yang disampaikan cukup panjang dengan gaya bahasa formal, membuat beberapa orang tampak bete menyimaknya, terlebih Yoga dan Hendi pastinya.

“Sebelumnya, saya mewakili teman-teman yang lain, mengucapkan terima kasih banyak kepada saudara Yoga, yang mana telah bersedia untuk bergabung kembali dalam unit kegiatan teater kita ini. Emm… Bang Yoga, bagaimana? Apa sudah ada gambaran untuk lakon yang akan kita mainkan nanti?” jelas Aprizal.

Mendengar itu, Yoga pun terkejut, karena sebelumnya memang tak pernah diberitahu masalah pembuatan lakon tersebut.

“Lho, bukannya tinggal beberapa minggu lagi acaranya? Kenapa lakonnya belum juga ditentukan?” sahut Yoga mengernyit dengan gaya sok asyik.

“Itu dia, bro….” Aprizal terus pasang muka serius. “Sebenarnya sih beberapa waktu yang lalu kami sudah menemukan beberapa lakon, bahkan sudah sempat dibuatkan sebagian naskahnya. Tapi, setelah kita timbang-timbang kembali, rasanya belum ada yang benar-benar cukup bagus untuk kita mainkan. Nah, maka dari itu, tentunya kami sangat berharap penulis sehebat Anda dapat mengatasinya.”

“Ya, kalo mendadak kayak gini sih, pastinya gue belum punya gambaran. Emm… mungkin Ibu Sandra punya gagasan untuk tema-nya?” Yoga menatap Sandra, mupeng.

“Emm, sudah dari beberapa bulan yang lalu, kita sih sepakat mau mengangkat cerita yang bertemakan, cinta.” Sandra tersipu saat mengucapkan kata terakhirnya.

“Waw….” Yoga melotot. “Oke, emm... kalau begitu, nanti saya akan coba membuatnya.”

“Kalau bisa secepatnya yah, bro! Tahu sendiri kan? Waktunya sudah sangat sempit,” balas Aprizal.

“Ya, gue usahakan.”

Di tengah mereka semua masih asyik berdiskusi, tiba-tiba dari arah dalam muncul bapak-bapak berbadan tegap, berkumis tebal, berwajah sangar. Rupanya pria itu adalah papahnya Sandra, yang kemudian membuat Aprizal langsung mendekatinya untuk memberi penghormatan mencium tangannya. Dari gosip yang beredar di kampus, papahnya Sandra yang bernama Raden Noorman ini adalah seorang pejabat tinggi kepolisian. Yah, kalau dilihat dari wajah sangarnya sih, sepertinya gosip itu memang benar adanya.

“Apa kabar, Om?” sapa Aprizal, sok akrab.

“Hmm,” balas Noorman, bersuara namun bibirnya mingkem. Sempat sekejap dia membuka senyum tipisnya, tapi kemudian kembali terlihat garang. “Sedang kumpul-kumpul dalam rangka apa ini?” tanya Noorman dengan nada tegas.

“Ini Om, kita lagi meeting untuk acara pertunjukkan teater di kampus,” balas Aprizal, keren.

“Tidak ada yang aneh-aneh, kan?” lanjut Noorman sambil memelintir ujung kumisnya sebelah kanan.

“Ya, nggak ada lah, Om!” jawab Aprizal, dan nampaknya memang cuma dia yang berani menjawab.

“Tidak ada yang pakai narkoba, kan?” Noorman melotot.

“Ih, Papah apa-apaan sih, pake nanya yang aneh-aneh segala,” geram Sandra tampak sebal. “Udah sana, di dalem aja!”

Tapi Noorman tampak tak peduli dengan ucapan putrinya tersebut, justru wajahnya malah semakin terlihat sangar, yang kemudian dengan nada tegas dan suara begitu keras, dia pun berkata, “Siapa di antara kalian yang bernama Muhammad Yoga?”

Mendengar itu, sudah pasti Yoga begitu terkejut. Ekspresinya kebingungan, pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan.

“E, saya, Pak,” sahut Yoga pelan sembari mengangkat sebelah tangan.

“Kamu ikut saya ke dalam!” tegas Noorman sembari menunjuk tepat ke arah wajah Yoga. “Saya mau bicara sama kamu.” Noorman lalu bergegas melangkah kembali ke dalam.

Entah apa yang akan diinginkan papahnya Sandra darinya? Tapi tentu dia tidak merasa takut, karena dia memang bukanlah seorang pengecut. Sambil terus menggendong tas selempang berisi sepatu keramatnya, Yoga pun melangkah menyusul Noorman.

“Ada pesan-pesan terakhir, Mas?” kelakar Murodi hingga membuat yang lain serempak tertawa lebar, kecuali Sandra.

Tak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa Yoga, Sandra pun bergegas mengambil inisiatif menemaninya untuk masuk ke dalam. Pasalnya, dia tahu betul, bila papahnya sedang marah, bisa makan orang.

“Ada masalah apa sih, San?” gumam Yoga saat mereka mulai masuk ke dalam.

“Mana kutahu? Justru aku yang mau tanya sama kamu, ada urusan apa sama Papah?”

“Apa lagi saya, orang ketemu aja baru hari ini kok.”

“Sudah, pokoknya kalau Papah aku marah-marah, kamu jawab ‘iya’ aja! Pura-pura nurut gitu.”

Sandra terus mendampingi Yoga sampai masuk ke ruangan kerja papahnya. Ruangan itu tampak cukup luas, berdesain persis ruang kerja kantor. Noorman terlihat telah duduk di belakang meja kerjanya, yang sementara tengah sibuk membaca sebuah berkas miliknya. Melihat Yoga dan Sandra datang berduaan, dan bahkan saling berdekatan, rupanya membuat Noorman kembali terlihat garang.

“Kamu keluar dulu, sayang!” Noorman menyuruh putrinya. “Papah mau bicara empat mata sama dia.”

“Ada apa sih, Pah?” Sandra terus mengernyit.

“Papah mau ngomong sesuatu yang penting sama si Yoga ini, jadi kamu keluar dulu!”

“Nggak,” tolak Sandra, makin terlihat kesal.

“Sudah, cepat keluar! Jangan sampai Papah marah sama kamu nanti,” Noorman sedikit menaikkan nada bicaranya.

Terlalu takut papahnya marah, Sandra pun segera keluar. Tentu dia bertambah kesal, hingga sempat sedikit membanting pintu.

“Kamu, duduk!” Noorman menyuruh Yoga untuk menempati kursi yang disediakan tepat di depan mejanya. “Benar kamu yang bernama Yoga?”

“Betul, Om,” sahut Yoga menunjukkan sikap santun, sementara matanya tak ragu menatap wajah Noorman.

“Saya kasih tahu yah sama kamu, saya tidak mengizinkan Sandra untuk berpacaran selama masih kuliah. Dan perlu kamu ingat, saya sudah menyiapkan calon suami untuknya. Jadi, setelah lulus nanti, mereka akan langsung saya nikahkan. Mengerti?”

Yoga pun kebingungan menafsirkan maksud dari ucapan Noorman tersebut. Menurutnya, tidak ada hubungan sama sekali antara penjelasan itu dengan dirinya. Karena begitu jelas, sementara ini hubungannya dengan Sandra hanyalah sebatas teman, bahkan mungkin masih belum terlalu pantas disebut teman.

“E… tapi, Om—”

“Akh… tidak ada tapi-tapian. Pokoknya mulai hari ini, kamu harus jauhi Sandra!”

“E… tapi, kalau cuma sekadar berteman, boleh kan, Om?”

“Kamu ini ngerti ucapan saya nggak, sih? Sudah, pokoknya kamu tidak usah membantah!”

“E, iya, Om.” Yoga coba menurut saja, sekalipun masih tetap bingung.

Noorman sempat terdiam sejenak, namun terus menatap Yoga dengan sorot mata tajamnya.

“Saya dengar-dengar, kamu itu baru keluar dari penjara. Apa betul?” lanjut Noorman masih dengan nada yang sama.

Yoga pun terperanjat, hingga hampir melompat. Ya, tentu benar dia baru saja keluar dari penjara, namun hal tersebut tidak lain hanyalah akibat dari sebuah kesalahpahaman belaka.

“E... betul, Om. Tapi—”

“Akh… kamu itu, masih muda kok sudah senang berbuat kriminal, mau jadi apa kamu nanti?” potong Noorman penuh penyesalan. “Apa yang kamu lakukan? Jangan-jangan kamu pengguna narkoba, yah?”

“Bukan, Om, sumpah! Seumur hidup, saya belum pernah menyentuh yang namanya narkoba. Merokok aja nggak kok, apalagi sampai memakai barang terlarang seperti itu. Sebenarnya—”

Belum sempat Yoga memberi penjelasan yang sebenarnya, tiba-tiba handphone milik Noorman berdering, sehingga dia pun segera mengangkatnya.

Obrolan Noorman dengan si penelpon terdengar cukup serius, sepertinya urusan pekerjaannya di kepolisian. Cukup lama Yoga dicuekin, membuatnya merasa begitu bete.

Noorman kembali menatap Yoga setelah menutup teleponnya. “Selain kuliah, apalagi kegiatan kamu sehari-hari?”

“Emm, menulis fiksi, Om.”

“Saya ada pekerjaan buat kamu.”

Yoga terdiam, dengan tampang linglung.

“Mau, nggak?” bentak Noorman sambil menggebrak mejanya sekali.

“E, iya.”

“Yang jelas dong kalau ngomong.”

“Iya, mau, Om.” Yoga terpaksa menurut.

“Saat ini pihak kepolisian bekerja sama dengan BNN tengah menangani sebuah kasus jaringan peredaran narkoba di kampus-kampus. Dan kebetulan, di kampus tempat kalian kuliah disinyalir terkait dengan sebuah jaringan besar. Kami sudah mengetahui dua orang mahasiswa yang kami telah pastikan berperan sebagai kurirnya. Satu orang sudah berhasil kami tangkap. Namun ternyata percuma. Skema yang mereka terapkan begitu rapi, membuat kami tetap kesulitan untuk dapat melacak keberadaan bandar besarnya.”

“E… terus, kira-kira tugas saya apa, yah, Om?” potong Yoga, terlalu malas mendengarkan penjelasan yang bertele-tele.

“Kamu saya tugaskan menjadi intel!” jelas Noorman, menampilkan ekspresi begitu serius.

Yoga pun tersentak, refleks menarik kepalanya sedikit ke belakang sambil melotot.

“E, nggak salah, Om?”

“Maksud kamu, saya ini goblok, gitu?” bentak Noorman, melotot.

“E, bukan gitu, Om. Emm, maksud saya, apa Om yakin mau menugaskan saya? Saya ini kan cuma mahasiswa biasa seperti yang lainnya, dan sama sekali nggak ngerti apa-apa soal intel-intelan.”

“Kalo nggak ngerti ya nanya dong...! Gitu aja kok repot, sih.” Noorman lagi-lagi membentak. “Atau jangan-jangan sebenarnya kamu takut?”

Yoga cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala, terlalu bingung harus berkata apa.

“Sudah, pokoknya kamu tenang saja! Tidak ada yang perlu ditakutkan. Saya sudah mengatur semuanya. Kalau kamu melakukannya dengan benar seperti yang saya perintahkan, semua bakal aman.”

“E, ya udah deh, Om, siap,” sahut Yoga sambil menganggukkan kepalanya sekali.

“Yang tegas dong...! Jadi laki kok lembek banget, sih.”

“Siap, Pak!” tegas Yoga membuka matanya lebih lebar.

“Nah, gitu dong....”

Setelah itu, Noorman pun menjelaskan rencananya dengan sangat detail, dan pastinya bertele-tele, hingga menghabiskan waktu hampir 2 jam. Namun di sisi lain, Yoga merasa sedikit gembira, karena Noorman sempat sekilas membuka senyum untuknya.

Keluar dari ruang kerja Noorman, Yoga kembali ke ruang tamu. Rupanya sebagian besar peserta meeting sudah pulang, yang tersisa hanya Aprizal, Hendi, dan juga Sandra tentunya. Mereka bertiga tampak cemas menatap Yoga, namun Yoga hanya terus memperlihatkan sikap biasa seakan tak ada masalah apa-apa.

“Ada masalah apaan, sih, bro?” ujar Hendi, tampak khawatir, sementara Yoga telah kembali duduk di sebelahnya.

Woles, bro…! Nggak ada apa-apa.”

“Nggak ada apa-apa kok lama banget, sih?” balas Sandra, pastinya yang terlihat paling cemas.

Belum sempat Yoga memberi alasan kepada Sandra, Aprizal pun menyela, “Ditanya-tanya apa sama Papahnya Sandra?”

“Tidak ada apa-apa! Beliau hanya menyampaikan tausiah-nya saja, kok,” balas Yoga berdusta, yang pastinya si Sandra sebagai putrinya 100% nggak mungkin percaya.

Anjay… enak dong, malem-malem dapet wejangan,” kelakar Hendi nyengir.

“Emm, oh iya, bagaimana hasil meeting-nya?” Yoga coba mengalihkan pembicaraan.

“Pastinya kami hanya tinggal menunggu ide cerita dari Anda,” sahut Aprizal.

“Oke deh, kalau begitu, berhubung malam sudah larut, kami pamit.” Yoga langsung berdiri, lalu mengajak Aprizal dan Sandra untuk berjabat tangan.

Sandra sempat mengantar Yoga dan Hendi sampai ke halaman, sementara Aprizal tampaknya masih ingin berlama-lama, sehingga dia tetap duduk di ruang tamu.

“Yakin, Ga, nggak ada apa-apa?” Sandra masih khawatir saat Yoga telah naik di atas boncengan sepeda motor Hendi.

“Nggak ada apa-apa, Mbak,” sahut Yoga memberinya senyum lembut.

“Maaf yah… Papah aku memang suka aneh orangnya.”

“Ya cocoklah… saya juga kan orang aneh, hehehe.”

Setelah ritual pengucapan dan pembalasan salam, Yoga dan Hendi pun bergegas pergi. Berhubung kondisi keuangan mereka masih dalam keadaan kritis, usai menghadiri meeting, tentu tak ada rencana lain. Dengan kecepatan penuh, Hendi langsung mengarahkan laju motornya menuju ke rumah kos mereka.


Lihat selengkapnya