Sepatu Dahlan

Noura Publishing
Chapter #3

2

Muslihat Gagal

Malam merangkak begitu perlahan, menyiksa harapan dan angan-anganku bersekolah di SMP Magetan. Malam ini aku tidak tidur di langgar. Aku mendekam di rumah, berdiam diri, menyaksikan jari-jemari Ibu menari di atas kain mori di bawah jilatan lampu teplok yang dipermain-mainkan angin yang bertiup lembut dari mata jendela.

Tak dapat kumungkiri, keputusan Bapak yang melarangku melanjutkan sekolah di SMP Magetan adalah keputusan yang bijak. Bagaimanapun, aku pasti akan merasa malu, minder, atau rendah diri. Pakaian misalnya, aku hanya punya sepasang dan itu alamat akan jadi bahan ejekan bagi murid-murid lain yang rata-rata punya orangtua yang mampu membelikan mereka banyak pakaian. Selain itu, jarak antara Kebon Dalem dan Kota Magetan cukup jauh, lima belas kilometer, bukan perjalanan yang mudah ditempuh setiap hari pergi-pulang dengan bertelanjang kaki. Pada saat seperti ini, aku teringat sepatu Pak Suprapto, Kepala Sekolah SR Bukur yang bersahaja. Andaikan aku punya sepatu seperti itu, tentulah perjalanan sejauh lima belas kilometer tidak akan terlalu menyiksa. Dan, tentunya akan bertambahlah hinaan itu kalau murid-murid mengetahui kakiku tanpa sepatu.

Sunyi makin mencekam.

Aku bangkit mengambil buku catatan harian yang kusimpan di atas lemari kayu tua, dan keperihan segera tumpah-ruah di sana.

Terima kasih masih diizinkan sekolah meskipun Dahlan sudah bikin Bapak kecewa. Tapi, Dahlan tidak mau sekolah di Tsanawiyah Takeran. Apa pun risikonya, Dahlan harus sekolah di SMP Magetan.

Dahlan tahu, alasan Bapak pasti karena biaya sekolah yang selangit, buku-buku yang mahal, seragam yang tak terbeli, belum lagi harus ada sepatu dan sepeda. Dahlan janji, tak perlu pakai sepatu atau sepeda ke sekolah, Pak. Dahlan bisa jalan walau tanpa alas kaki. Dahlan kuat, Pak.

Boleh, ya, Pak?

Lalu, sekonyong-konyong melintas gagasan hebat di dalam benakku. Aku yakin Bapak akan mengiyakan dan mengizinkanku mendaftar di SMP Magetan jikalau ide ini dapat berjalan dengan mulus sesuai rencana. Aku yakin, sangat yakin.

Masalahnya, aku cuma butuh satu hal, keberanian.

Iskan. Begitu nama Bapak. Tak ada sekulum senyum atau kata-kata lembut yang saban hari bisa kudengar dari mulut Bapak. Matanya yang bening dan tajam seolah perintah-perintah yang tak boleh dibantah, seperti “Sini!” atau “Cepat!” dan tak seorang pun dari anak-anaknya yang berani menyanggah perintah itu. Termasuk aku.

Bapak sangat pendiam. Sampai-sampai aku bisa menghitung berapa banyak kata yang diucapkannya dalam satu hari. Tetapi, Bapak sangat ulet dan tangkas bekerja. Tangannya tak pernah bisa diam. Ada saja yang dia kerjakan: memangkas pohon beluntas di pagar halaman, meratakan lantai tanah rumah, membuang pelepah pisang yang daunnya mulai menguning. Dan, hal itu yang membuat rumah sederhana kami selalu bersih dan sedap dipandang mata.

Tak pernah terdengar Bapak mengeluh walau keringat menguyupi tubuhnya. Uban yang basah mengilap menjadi pemandangan tak menjemukan, terus berulang setiap hari. Tak ada artinya tubuh ringkih atau kulit keriput, Bapak terus dan terus bekerja. Sepulang dari sawah, setelah tubuhnya dibakar terik matahari, Bapak memilih langgar sebagai tempat rihat. Hangat matanya seolah panggilan menggairahkan bagi kami, anak-anak Kebon Dalem, untuk segera duduk melingkarinya dan belajar mengaji. Letih sepulang sekolah tak kami indahkan karena kami selalu merindukan dongeng Bapak yang selalu menarik. Lalu, ketika sore tiba, kami harus segera menggiring ternak ke sawah dekat Sungai Kanal.

Hanya ada satu yang disegani Bapak. Kiai Mursjid. Jangan sebut nama itu di depan Bapak. Nama itu akan jadi pusaran air yang seketika menelan Bapak ke dalam ketakziman. Sejak masih berusia dua tahun tiga bulan, Bapak diasuh oleh keluarga Kiai Mursjid—yang kerabat dekat Ibu—dan tumbuh hingga dewasa di Pesantren Takeran. Kiai Mursjid pula yang menjodohkan Bapak dengan Ibu. Setelah menikah, Bapak dan Ibu memilih menetap di Kebon Dalem dan membangun rumah di atas sebidang tanah warisan milik Ibu. Itulah mengapa sehingga Bapak sangat menghormati Kiai Mursjid. Ketakziman yang tiada bandingnya.

Lihat selengkapnya