Dihimpit ratusan orang di dalam kereta. Aku meronta-ronta keras, tapi tak ada yang peduli. Manusia-manusia pemburu dunia itu bergoyang-goyang mengikuti irama kereta. Memang, jika sudah hari Minggu, kereta menuju ke Malang seperti molekul-molekul benda padat. Padat, tak bercelah sedikitpun. Tetapi anehnya, pedagang-pedagang lucu itu selalu bisa membelah lautan manusia sambil berceloteh aneh.
"Bu hajah Anisa, monggo nasi pecelnya!"
"Aduh, bu Siti Aminah, manis sekali, sudah sarapan buk?"
"Permisi, adik cantik manarik hati, duuuh cantiknya, kasihan keringatan, yuk kipasnya, biar tetep cantik"
Segala macam trik mereka lakukan agar dagangan sampai tujuan, dan uangpun sampai ke kantong. Siapa pun itu, mereka panggil dengan panggilan sayang. Jika melihat ibu-ibu dengan jilbab besar mereka panggil dengan sebutan bu hajah. Perempuan muda? Mereka panggil dengan adik cantik lah, adik manis lah, adik imut, dan lain-lain. Tak jarang pula yang memanggil pemuda kekar berotot dengan panggilan "Siap ndan!" Ha.. seketika itu senyum tipis-tipis menghiasai penduduk kereta mengalihkan suasana penat menjadi suasana unik yang mungkin nanti menjadi candu bagi mereka yang tiap minggu harus naik kereta Dhoho itu.
Aku, di pojok sini, terdesak tak bernafas. Bersandar di dinding gerbong terdepan menikmati senggolan-senggolan manja penduduk kereta. Wajah mereka selalu cemberut jika pelumasku mengenai celana atau rok mereka. Seperti jebakan batman, pelumas rantaiku sering sekalai menodai kesucian baju mereka.
"Maaf!"
Tapi mereka tetap tak menghiraukanku. Berkali-kali aku meminta maaf kepada mereka. Tapi tak ada yang peduli. Jika mereka peduli atas perkataanku, maka pastilah seisi kereta itu akan menjauh perlahan beraturan, sambil memandang curiga.
"Ngomong sama sepeda? Gila ya?"
Tak diragukan, pasti itu yang ada di otak manusia jika situasi ini terjadi. Haa.. kenapa aku tak bisa seperti tayo yang bisa berkomunikasi Dengan mudahnua kepada manusia. Atau paling tidak seperti thomas yang bisa berkomunikasi antar sesamanya. He.
Tak seperti biasa, tuanku Mahda tampak cemas. Dia berdiri agak jauh dariku. Wajahnya menunjukkan kegelisahan, digenggamnya catatan kecil erat-erat. Yang aku tau catatan itu dari Paman Kirman. Ia memberikannya sesaat sebelum kami pergi ke stasiun.
"Ini ya nduk."
"Nggih pak lik"