Sepedaku

Reda Rendha Deviasri
Chapter #4

Penggemar rahasia

Tetap berdiri di sampingku saja.

Jangan kau tampakkan wajahmu untukunya.

Jalanmu bukan di sini.

Karena jalanmu menghalangi mimpinya.


Dua pemuda dan satu pemudi tampak asik ngobrol sembari menuju tempat baruku bersama pak Agus. Salah satu dari mereka tampak tinggi tegap dan tak mempunyai banyak rambut. Sedangkan pemuda yang lain berjalan agak membungkuk walaupun ia tak setinggi temannya. Di samping kiri dua pemuda itu tampak gadis yang sudah tak asing lagi, Mahda. Ia memukul-mukul kecil benda besar bertangkai panjang yang di bawa pemuda tegap tadi.

Semakin mendekat semakin kudengar percakapan akrab mereka. Kelihatannya mereka sedang membicarakan sebuah lagu. Pemuda tegap itu seperti menyanyikan sebuah lirik sedangkan yang lain mengangguk-angguk berjamaah.

"Besok lagi bisa ya?" tanya salah satu pemuda kepada Mahda.

"Sore ya, karena jika malam aku harus ke rumah murid lesku," jawab Mahda sambil memegang bocenganku dengan tangan kanannya.

"Oke, siap! Kita buat mereka terpukau." Pemuda tegap itu tersenyum gembira kemudian berpaling dari Mahda disusul pemuda yang lain sambil melambaikan tangan. Mereka menuju motor bebeknya masing-masing yang berjajar rapi satu saf dengan motor-motor bebek canggih lainnya. Mahda pun bersiap mengajakku mundur lalu menjejakkan kaki kanannya ke salah satu pedal. Sambil membunyikan bel di stang kiriku, Mahda memberi isyarat tanda perpisahan kepada pak Agus dan teman-temannya, "Monggo, Pak Agus!" kemudian membalikkan kepalanya dan berkata, "Hei, balik dulu, ya!"

Kedua pemuda itu bergeming, ia hanya memandangi punggung Mahda sambil bertahan mempertahankan sepeda motornya untuk tetap berdiri. Bahkan helm pemuda tegap sempat terjatuh oleh bunyi bel ku. Sepertinya mereka tak sadar jika sentuhan tangan Mahda di boncengan sepedaku tadi bukan tanpa arti.

"Ya, cah ayu, hati-hati!"

Hanya suara pak Agus yang menjawab kalimat perpisahan Mahda.

***

Selasa, 23 Agustus 2005, seperti biasa Mahda sangat bersemangat mengayuh pedal menuju jalanan besar bercelah sempit di setiap sisi-sisinya. Semangat Mahda terasa berbeda dalam ayunan kaki yang terasa sangat berirama. Sangat berbeda dari ayunan sebelum-sebelumnya yang hanya terasa mantab bergerak maju. Pagi ini, jemari tangan perempuan berkulit coklat itu tak henti-hentinya memetik stangku sambil berdendang dengan lagu yang sama.

"Haaaaaanya dirimu yang bisa ...." Lantunan suara Mahda terhenti selaras dengan bunyi rodaku yang berdecit dan berusaha menghasilkan gaya gesek yang sangat kuat. Tepat di depanku ada kereta roda empat hitam yang hampir tersentuh oleh ban depan. Hidup kami bisa berantakan jika kecelakaan yang hampir terjadi ini benar-benar terjadi. Hufh, aku mengeluh dalam ketakberdayaanku. Mobil memang serakah, makan jalan paling banyak, mereka lewat kita yang harus menyingkir, dan sekarang? Bisa-bisanya berhenti mendadak tanpa rasa bersalah.

Lihat selengkapnya