Schiphol, Agustus 2019
Laki-laki berperawakan jangkung itu baru saja mendarat dari Indonesia di bandara internasional Schiphol, Belanda untuk pertama kalinya. Dia pernah mengunjungi Dusseldorf di Jerman untuk bertemu kliennya namun tidak sempat singgah ke Belanda meskipun jaraknya hanya 2 jam naik kereta. Kenzi Dharmawan, yang seringnya dipanggil Ken, kali ini datang untuk melanjutkan studinya di bidang Environmental Science di salah satu Universitas Teknologi unggulan di Belanda. Tentu saja untuk diterima di kampus ini adalah hal mudah baginya karena Ken memang selalu penuh wawasan.
Dengan tinggi badannya yang hampir 190 cm itu, Ken dengan mudah melihat petunjuk arah untuk menemukan loket pembelian ov-chipkaart yang biasa digunakan warga Belanda sebagai tiket menaiki semua kenderaan umum seperti bis, kereta maupun trem. Setelah mengisi deposit sebesar 50 euro, dia segera melihat jadwal keberangkatan kereta dari Schiphol menuju kota tempat dia akan tinggal. Saat itu jam di layar menunjukkan pukul 8.55 dan kereta selanjutnya akan berangkat pada pukul 9.03. Ken pun bergegas menarik koper besar miliknya menuju peron 4 dan turun ke lantai bawah tanah menggunakan travellator yang memudahkan penumpang membawa barang bawaannya. Kereta itu sudah menunggu para penumpang untuk menuju kota tujuan. Ken memilih kursi di sebelah jendela dengan ruang untuk empat orang karena dia harus memberi tempat untuk dua kopernya. Untung saja kursi di kereta itu masih banyak yang kosong karena relatif masih pagi untuk ukuran weekend.
Sekitar 40 menit kemudian, kereta telah sampai di stasiun tujuan. Ken yang sudah siap berdiri di depan pintu kereta segera memencet tombol untuk membuka pintu itu ketika kereta sudah benar-benar berhenti di tempatnya. Dia pun menaiki lift untuk naik ke lantai atas lalu berjalan menarik kopernya menuju stasiun bis yang persis ada di sebelah stasiun kereta tersebut. Untungnya ketika sebelum berangkat dari Indonesia Ken sudah mencari tahu bagaimana rute perjalanan menuju apartemen barunya di kota itu dari bandara Schiphol. Oleh karenanya dia dengan mudah menemukan jalur-jalur kereta dan bis yang benar tanpa perlu mencari di google.
Setelah turun dari bis di halte yang dia ingat betul namanya, Ken berjalan menuju gedung apartemen berlantai dua puluh berwarna biru yang persis seperti gambar yang dia lihat di website housing-nya. Dikarenakan Ken datang di hari Sabtu, ia tidak bisa mengambil kunci kamarnya langsung dari caretaker sehingga ia meminta tolong teman kuliahnya di Bandung dulu untuk mengambilkan kunci kamarnya.
“Hey bro! Selamat datang di Belanda!” sapa Riza yang sudah satu tahun lebih dulu tinggal di apartemen itu.
“Halo bro! Apa kabar? Btw, capek juga gue bawa-bawa koper dari Schiphol,” jawab Ken.
“Hahaha pasti lo bawa stok makanan banyak ya?!”
“Yah biasa ortu gue bawain macem-macem. Katanya biar enggak kelaperan di Belanda.”
“Hahahaha santai aja bro! Ada banyak makanan Indonesia di Belanda.”
“I know…ya biasa lah ortu gue khawatir, karena anak semata wayangnya tiba-tiba milih ngelanjutin sekolah di negeri orang.”
“Hahaha iya juga. Btw lo ngapain sih tiba-tiba pengen sekolah bro? Bukannya udah nyaman sama kerjaan lo di Bandung? Sering ketemu klien luar negeri juga kan?”
“Engga tau deh, pengen aja gitu tiba-tiba. Biar tambah pinter kaya lo yang udah mau PhD bro.”
“Hahahaha mana ada bro. Baru juga setahun gue di sini. Masih tiga atau empat tahun lagi.”
“Haha seru kan tapi sekolah di Belanda?”
“Iya sih seru-seru susah juga bro. Lama-lama lo juga akan ngerti deh gimana rasanya hahaha.”