Sepenggal Kasih di Negeri Tulip

Zikrina Istighfarah
Chapter #3

2. The fluttering moments | Momen-momen mendebarkan

Ken membuka aplikasi WhatsApp, lalu mengetik pesan.

 “Besok kita enaknya ketemu jam berapa Lin? Pagian yuk?”

“Oke. Aku berangkat dari rumah jam delapan yah. Sampai di stasiun kotamu kira-kira pukul setengah sepuluh.”

“Siap!”

Ken mulai merancang rute perjalanan kami besok. Dia membuka google maps untuk memahami jalur perjalanan menuju IKEA dari stasiun kereta. Dia juga mencari daftar restauran masakan Indonesia yang ada di sekitar city centrum tempat dia tinggal. Ken ingin menjadi tour guide yang dapat diandalkan.

Minggu ini acara orientasi kampusnya sudah dimulai. Sehingga Ken sedikit banyak mengetahui beberapa tempat di kota itu yang memiliki landscape bagus untuk dikunjungi dan dijadikan tempat hunting foto. Ken memang sejak di bangku sekolah sudah memiliki ketertarikan terhadap fotografi. Kalau ditilik dari akun Instagram-nya, Ken hanya mengunggah foto-foto pemandangan dalam warna hitam putih yang seolah menggambarkannya sebagai seseorang dengan kepribadian sangat cool. Oleh karenanya, masih tidak bisa dipercaya jika Ken adalah orang yang sangat nyaman untuk diajak bercengkrama.

***

Keesokan harinya, Ken menjemputku di stasiun kereta. Pukul delapan kurang sepuluh menit dia sudah mengirimkan pesan, aku tunggu di depan check out gate stasiun ya.

 Sesampaiku di sana, aku bisa melihatnya dari jauh. Ketika kami bertatapan, dia dengan antusias melambaikan tangannya padaku.

“Hai!” sapaku sambil berjalan mendekat padanya.

“Halo! Apa kabar? Gimana weekdays-nya? Kerjaan lancar kan?” tanyanya berentetan meskipun seminggu kemarin kami sudah saling berkirim pesan.

“Yah begitulah. Banyak yang harus diselesaikan. Itu tuh proyek yang aku ceritain.”

“Ohiya, gimana tuh akhirnya? Udah ketemu apa yang bikin hasilnya enggak sesuai literatur?”

“Udah. Untung banget deh setelah datanya dianalisis pakai approach yang berbeda, ternyata hasilnya bisa sesuai literatur.”

“Wah untunglah. Sepertinya kamu menikmati sekali ya pekerjaanmu sebagai scientist?”

“Hehe iya. Enggak tau kenapa aku selalu excited buat masuk laboratorium.”

Begitulah percakapan kami mengalir tidak ada habisnya. Kami bahkan sengaja memilih jalan kaki dari stasiun kereta ke IKEA dan begitu pun sebaliknya dengan jarak total enam kilometer, agar mendapatkan waktu mengobrol lebih banyak. Selama di IKEA kami membicarakan tentang desain rumah dan menemukan bahwa kami memiliki impian yang sama.

“Aku ingin punya rumah yang enggak terlalu besar tapi halamannya luas. Jadi aku bisa menanam berbagai macam sayur dan buah di sana,” kataku.

“Wah sama! Aku tidak terlalu suka ide tinggal di Jakarta yang sudah penuh sesak. Aku lebih suka tinggal di desa yang nyaman dan tentram,” timpal Ken.

“Wow! Aku juga! Kalau aku punya cukup uang, aku akan lebih memilih slow-living.”

“Bener banget! Wah ternyata kita sepikiran Lin.”

“Hahaha iya ya…”

Aku tersenyum malu. Ternyata ada banyak hal tidak kuduga dalam dirinya.

“Lin, liat deh desain interior yang ini. Kamu suka warna maroon kan?”

“Loh kok tau sih Ken?” tanyaku heran.

“Iya, dari minggu lalu kamu selalu pakai kaos, sepatu dan tas warna maroon hahahaha.”

“Hahaha betul juga. Wah ketahuan deh aku bucin maroon. Tapi iya asli ini desainnya bagus!”

“Iya kan?”

“Kamu jadi milih karpet yang mana, Ken?”

“Hmm kayanya aku enggak jadi beli sekarang deh, ribet bawanya. Kapan-kapan aja aku balik lagi ke sini. Sekarang kita makan siang aja yuk.”

“Oh gitu? Baiklah.”

Ken membawaku kembali ke city centrum untuk makan siang di salah satu restaurant ala Indonesia. Kota tempat tinggal Ken adalah salah satu kota favoritku di Belanda. Kotanya sangat cantik dan tentram. Kanal-kanal dan bangunan-bangunan rumah lama yang menawan memenuhi seluruh penjuru kota ini. Gereja-gereja dengan arsitektur gothic menjadi daya tarik utamanya. Kota ini juga merupakan penghasil kerajinan keramik berwarna biru yang pesonanya sangat tersohor di seluruh dunia.

“Sudah pernah makan di sini, Lin?”

“Hmm belum pernah Ken. Aku biasanya jajan di Den Haag atau di kotaku aja haha.”

“Cobain makan di sini gapapa kan?”

“Iya nggak papa.”

Kami memesan dua buah porsi nasi campur rendang kepada pemilik toko yang juga orang Indonesia. Dia pun melayangkan beberapa pertanyaan seperti sudah berapa lama tinggal di Belanda, kuliah di mana, dan sebagainya. Kemudian kami mencari tempat duduk untuk makan sembari melanjutkan percakapan kami.

“Btw sudah beri kabar ke Bapak dan Ibumu tentang kampus, dan lain-lain?”

“Hmm sudah kok. Aku sudah telepon Bapak. Ibuku kan sudah meninggal tahun 2017 lalu. Tapi Bapak sudah menikah lagi sih.”

Pikiranku terhenti sesaat. Aku tersadar kalau kami benar-benar lost contact cukup lama sehingga aku sama sekali tidak mengerti kabar apapun tentangnya.

I’m sorry Ken. Aku benar-benar engga tau kabar ini. I’m really sorry.”

“Iya enggak papa, santai aja.”

“Kalau boleh tau kenapa?”

“Sakit Lin, kanker.”

I see…Uhm, you know…I lost my dad too.”

Aku mencoba berempati.

“Bukan karena meninggal sih, cuma pergi aja dari aku dan ibuk. Hehe. Anyway, how did you manage your feelings back then? Karena aku tau rasanya jadi anak tunggal, enggak ada saudara buat berkeluh kesah.”

“Yah kadang kalau butuh cerita, aku cerita ke teman. Tapi kadang seringnya teman yang suka cerita ke aku. Hahaha maybe I’m a good listener.”

 “Hahaha indeed, Ken. Tapi dulu waktu di Indonesia aku enggak pernah cerita terlalu dalam ke teman. Aku lebih suka pendam sendiri.”

“Iya sama sih, Lin.”

“Tapi di sini untung aku ketemu Gina sama Fadila. Jauh dari keluarga kadang sangat berat. Jadi memang butuh banget tempat cerita. Gina sama Fadila enggak pernah nge-judge kalau aku cerita, jadi aku nyaman sama mereka.”

I see. Nanti kalau aku butuh cerita, aku cerita ke kamu deh, gimana? Hahaha.”

“Hahahaha boleh boleh.”

Kami terus melanjutkan percakapian kami denga berbagai topik yang menyenangkan, sehingga tidak terasa sudah waktunya sholat.

“Lin, kita cari masjid yuk.”

Aku sempat terkejut. Tidak pernah aku bertemu teman yang setiap waktunya sholat mengajak pergi ke masjid. Biasanya aku dan teman-teman sholat selama perjalanan di kereta atau di restaurant saja karena masjid tidak mudah untuk dicari. He is indeed attractive.

“Oke Ken,” aku menyetujui.

***

Sepulang kami dari masjid, aku melihat tanda trem arah Scheveningen beach.

“Ini trem ke arah pantai Scheveningen ya?” tanyaku.

“Eh iya. Ke sana yuk? Aku belum pernah ke sana,” jawab Ken.

“Ayuk!”

Aku sangat heran dengan betapa impulsifnya kami berdua. Sore itu pun kami benar-benar pergi ke pantai Scheveningen. Kami turun di Halte Scheveningen Noord lalu berjalan sekitar 5 menit untuk sampai di bibir pantai.

“Waah lauuut,” seruku kegirangan.

“Aku sudah lama enggak ke pantai lho, Lin. di Bandung tidak ada pantai, jadi aku cuma main ke Puncak doang,” kata Ken.

“Hahaaha aku juga jarang, Ken. Seringnya bukan main ke pantai tapi ke pinggiran sungai yang dianggap pantai.”

“Hahaha kok gitu, Lin?”

“Ya karena lautnya cuma di utara, biasanya orang selatan main di pinggiran sungai Rhine yang ada pasirnya hahahaha.”

“Oh iya? Kasian juga hahaha.”

Aku pun menghabiskan waktu dengan bermain air sedangkan Ken sibuk mengambil banyak foto dengan kameranya. Kamera itu pasti penuh dengan foto-foto landscape apik yang siap ia unggah di akun Instagram-nya.

“Lin, habis ini mampir Primark yuk. Aku butuh beli kaos murah.”

“Hahaha siap, Komandan!”

Setelah kami menunggu beberapa menit di di Halte Scheveningen Noord, trem arah stasiun Den Haag Centraal akhirnya sampai juga. Kami masuk ke dalam trem dan duduk dengan nyaman sampai halte tujuan kami yaitu Halte Den Haag Centrum. Berbagai macam department store berkumpul di pusat kota Den Haag ini. Primark, toko busana yang terkenal dengan harganya yang miring, berada tepat di seberang tempat kami turun. Kami pun masuk ke dalamnya. Hanya beberapa menit kemudian Ken sudah berhasil memilih kaos yang akan dia beli.

“Loh kok tiga-tiganya sama semua kaos yang kamu ambil?” komentarku ketika melihatnya.

“Habisnya sama aja sih bentuknya,” jawab Ken.

“Ya ampun cari yang beda warna gitu lho, Ken.”

“Hmm aku malas milihnya.”

Aku tertawa pasrah, “Hahaha kamu suka warna biru donker kah?”

“Iyah, abu-abu juga. Hmm warna gelap pokoknya.”

“Kayanya hidupmu perlu aku warnain deh.”

Kami pun tertawa bersama. Ken yang tetap kekeuh pada pilihannya itu kemudian mengajakku berjalan menuju antrian kasir.

“Lin, kamu capek nggak kalau besok kita ketemu lagi?” tanya Ken sambil menunggu antian.

“Hahaha. Mau ke mana emang?”

“Mana ya? Rotterdam? Muter-muter aja.”

“Bentar ya aku liat jadwal dulu,” jawabku sambil mengeluarkan agenda.

Ah seandainya aku masih mahasiswa yang enggak punya banyak tanggungan kerja, aku pasti udah iyain gitu aja ajakan Ken ini, pikirku dalam hati.

“Senin kayanya aku harus nyiapin materi buat meeting sama supervisor. Hm… Kalau minggu depannya lagi gimana?”

“Boleh!” jawab Ken.

“Sementara itu kamu buat dulu aja personal ov-chipkaart sama sekalian langganan weekend vrij. Kartu verblijf sama debit bank kamu sudah jadi kan?”

 “Kemarin sih dikasih tau kalau Senin minggu depan kartu verblijf sama debit bank aku akan dikirim ke rumah. Ah iya weekend vrij…Biar bisa jalan-jalan weekend gratisan ya? Oke deh nanti coba aku pesan,” jawab Ken.

Kartu verblijf adalah identitas resmi atau kartu tanda penduduk Belanda. Katu verblijf ini juga berlaku sebagai visa tinggal, wisata dan bekerja di semua negara Uni Eropa selama 90 hari dan bisa diperpanjang jika diinginkan. Sedangkan personal ov-chipkaart adalah kartu transportasi yang dibuat khusus dengan data identitas kita. Dengan memiliki personal ov-chipkaart kita bisa mendapatkan keuntungan berbagai season ticket atau paket transportasi yang lebih ekonomis. Ada banyak macam paketnya tergantung kebutuhan kita. Untuk kasus kami, karena tempat tinggal kami dengan kampus atau tempat bekerja berada di satu kota, kami cukup bersepeda untuk sampai ke sana. Sehingga kami hanya membutuhkan paket weekend vrij sebesar 33 euro yang memberikan keuntungan unlimited travel selama weekend atau holiday. Namun jika tempat tinggal dengan kampus atau kantor berjauhan, biasanya orang akan memilih paket altijd voordeel yang memberi potongan harga selama bepergian di peak hours.

Setelah Ken membayar dua buah kaos biru donkernya, kami pun berjalan menuju stasiun kereta. Ken dan aku berpisah di sana karena kereta kami tidak searah. Di dalam kereta aku termenung melihat pemandangan luar jendela. Meskipun hari ini sangat panjang, aku tidak tau apa yang berhasil membuatku tidak merasa lelah. Apakah karena aku senang pergi bersama Ken?

***

Ken kembali dengan aktivitas kampus barunya. Kali ini agendanya adalah masa orientasi fakultas. Semua mahasiswa baru di fakultas Civil Engineering and Geosciences dikumpulkan lalu dibagi dalam kelompok-kelompok kecil berisi delapan orang. Teman kelompok Ken adalah mahasiswa dari negara-negara Uni Eropa, Brazil, dan ada satu teman berasal dari Syria. Ken yang lumayan takjub melihat adanya mahasiswa dari Syria pun berinisiatif mengajaknya berkenalan.

“Assalammualaikum, brother.”

“Waalaikumsalam, brother.”

“I am Ken. And you…?”

“I am Taufiq. Nice to meet you.”

Nice to meet you too! I am glad that I can get acquittanced with a Muslim brother.”

Hahaha yes me too, brother.”

How long have you been living in The Netherlands?”

Hmm maybe almost six years?”

“Oh really?”

“Yes.”

Taufiq adalah seorang refugee yang berhasil selamat dari teror perang di negaranya. Dia dan keluarganya mendapat bantuan dari saudara-saudaranya yang sudah lebih dahulu berhasil lolos dan tingal di Belanda. Pemerintah Belanda dan juga Uni Eropa sangat terbuka untuk membantu para refugee yang merupakan korban perang di negara asal mereka atau dengan latar belakang mendesak lainnya.

Tentunya proses permohonan suaka ini memiliki beberapa tahap yang harus dilakukan. Jika Immigration and Naturalization Service (Dinas Imigrasi dan Naturalisasi Pemerintah Belanda) telah memberikan mereka ijin tinggal sementara di Belanda, selanjutnya para refugee ini akan diberi waktu tiga tahun periode integrasi. Dalam periode ini mereka diharuskan mengikuti tes yang terdiri dari tes Bahasa Belanda dan juga pengetahuan mengenai kehidupan bermasyarakat di Belanda. Pemerintah Belanda pun juga memberikan kesempatan mereka meminjam uang untuk mengambil kursus materi yang akan diujikan. Setelah lolos, mereka akan mendapatkan ijin tinggal permanen. Namun jika lewat tenggat waktu tiga tahun, mereka harus membayar denda untuk mendapatkan maksimal dua tahun periode integrase tambahan.

***

Tadi malam aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Adrenalin di tubuhku mengalir deras karena tak sabar ingin segera bertemu kembali dengan Ken. Padahal aku harus berangkat pagi buta karena butuh waktu setidaknya dua jam dari rumah untuk sampai ke Rotterdam. Aku sendiri heran dengan diriku yang begitu bersemangat.

Karena destinasi pertama kami adalah Cube Houses, aku pun turun di stasiun kereta yang lebih dekat ke sana yaitu stasiun Rotterdam Blaak bukan Rotterdam Centraal. Ken menelponku dan mengatakan kalau dia sudah menunggu di depan. Ketika aku berhasil menemukannya, dia sedang asik bermain-bermain dengan lensa kameranya dan mengambil potret-potret arsitektur stasiun Rotterdam Blaak yang berbentuk unik seperti piring.

“Hai!” aku mengagetkannya dari belakang.

“Serius amat sih ambil fotonya,” lanjutku.

“Halo! Hehehe iya nih arsitektur bangunannya bagus-bagus.”

“Haha iya bangunan-bangunan di sini semuanya unik memang.”

Kami pun memulai perjalanan kami sambil saling bertukar cerita.

“Gimana kampus? Sdah ngerti kan kantinnya di mana? Hahaha,” guraku.

“Hahaha sudah lah. Eh, aku kenalan sama mahasiswa dari Syria loh.”

“Ohiya? Kok bisa? Ketemu di mana?”

“Kemarin waktu di orientasi fakultas. Aku satu kelompok sama dia.”

“Oh gitu… Seru juga ya temenmu dari mana-mana.”

“Iya. Terus aku tanya-tanya gitu ke dia.”

“Oh iya? Tanya apa aja?”

“Hmm aku tanya sudah berapa lama tinggal di sini, terus kenapa dia memutuskan pindah ke sini. Ya dia cerita kalau pindah karena alasan keselamatan, dan sekarang sudah jadi warga permanen Belanda.”

“Oh gitu… Untung juga ya Pemerintah Belanda mau mengulurkan tangan buat mereka.”

“Iya, bener banget.”

“Btw, kamu udah ada rencana mau ke mana aja hari ini?” tanyaku pada Ken.

“Sudah. Aku mau kamu ajak muter-muter hehehe. Tasmu mau aku bawakan kah? Biar enggak capek,” Ken menawarkan bantuannya.

“Hahaha nggak usah lah gapapa. Emang kita mau ke mana aja? Kok bakal bikin aku capek?”

“Ke mana-mana. Soalnya aku mau ambil foto yang banyak.”

Aku pun tertawa menanggapi Ken yang begitu bersemangat untuk hunting foto. Daerah ini memang terkenal sebagai architectural highlight area karena hampir semua gedungnya memiliki bentuk-bentuk yang unik sehingga banyak dikunjungi orang.

Lihat selengkapnya