“Kak.” Tiba-tiba Reifan masuk.
Audy meletakkan piring bekas sarapannya ke meja kaca di depannya, lalu menoleh. “Ada apa?”
“Mau ke rumah Om Jody, nggak? Ada Erwin sama Devi. Rika juga ada.”
Sontak senyum Audy pun merekah. Erwin dan Devi adalah keponakan Om Jody, tetangga yang mengontrak di rumah sebelah, yang setiap liburan sekolah pasti menginap. Erwin seumuran Reifan, sama-sama tahun ini naik ke kelas enam SD. Devi kalau tidak salah satu atau dua tahun di bawahnya. Sementara Rika sebaya Audy, sama-sama sudah SMP dan akan naik ke kelas dua.
Meski hanya bertemu saat liburan, trio keponakan Om Jody sudah menjadi sahabat bagi Audy dan Reifan yang tidak punya banyak teman di sekolah. Tentu ketiganya juga kenal dengan anak-anak sebaya yang tinggal sepanjang satu blok. Namun, yang paling akrab memang dengan Audy dan Reifan karena rumah yang bersebelahan persis.
Sebenarnya ada satu “magnet” yang membuat trio keponakan Om Jody menjadi begitu populer di antara anak-anak yang tinggal di Blok B—blok tempat tinggal Audy. Dan itu adalah video game.
Om Jody memang bekerja di perusahaan yang menjual aneka game. Makanya koleksi video game-nya banyak. Player-nya pun selalu keluaran terbaru yang paling canggih. Misalnya saja, ketika saat ini kebanyakan pecinta game masih menggunakan Sega, Om Jody sudah sedia seri terbaru Super Nintendo.
Banyak anak yang sebenarnya ingin menjajal video game koleksi Om Jody. Hanya saja, mereka merasa sungkan karena di rumah Om Jody tidak ada anak-anak. Rika, Erwin, dan Devi adalah alasan anak-anak untuk berkunjung ke rumah Om Jody.
Seperti saat ini ketika ruang tengah rumah Om Jody riuh dengan perpaduan antara suara dari video game dan mulut anak-anak yang memainkannya, dan yang menontonnya juga.
Reifan dan Erwin tengah “bertarung”. Lakonnya adalah “Dragon Ball-Z”. Erwin menggunakan karakter Cyborg 18, sedang Reifan memainkan Bezita. Pertandingan berjalan sangat seru karena keduanya boleh dibilang game master—setidaknya di lingkungan Blok B.
Selain Audy dan Reifan, di rumah Om Jody juga ada beberapa anak komplek yang juga menjadi pengunjung “langganan”: Tommy, Ari, Nanda. Tommy dan Ari juga kelas enam seperti Reifan dan Erwin. Sedangkan Nanda tahun ini baru masuk SMP. Para laki-laki duduk di lantai sambil menyemangati dan menunggu giliran. Sementara anak-anak perempuan lebih memilih berkumpul di sofa sambil ramai-ramai melihat sebuah majalah remaja.
“Take That!” Audy menunjuk sebuah halaman yang kebetulan sedang dibuka Nanda.
“Eh? Mana?” Nanda seperti tidak ngeh. “Oh, iya.” Wajah Nanda langsung semringah begitu melihat foto sekelompok cowok keren di majalah tersebut. “Gary … ya ampun! Ganteng banget…!”
“Gue lebih suka Mark. Belahan rambutnya cakep,” timpal Audy, menunjuk lagi, kali ini foto Mark Owen dengan model rambut belah tengah.
“Gary, ah! Dia, kan, front man.”
“Gue nggak suka sama cowok yang rambutnya model crew cut gitu. Kesannya tengil.” Audy masih bersikukuh lebih suka Mark.
“Kata siapa? Lo sendiri nge-fans sama Luke Perry. Emangnya gaya rambut dia nggak gitu?” Nanda masih tidak mau kalah.
“Itu beda. Perkecualian.” Audy beralasan.
“Nggak konsisten ah.” Dan keduanya pun langsung heboh membahas Take That, berdebat tentang siapa yang paling ganteng, Mark atau Gary.