Sepenggal Kisah dari SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #5

Kelas Siang

Hari Sabtu, dua hari menjelang dimulainya tahun ajaran baru. Sebenarnya hari itu sekolah belum dimulai, kecuali bagi siswa kelas satu yang akan melaksanakan penataran P4. Meski demikian, para siswa senior tetap diminta untuk hadir karena akan diumumkan pembagian kelas pagi dan siang. Karena keterbatasan ruang, para siswa kelas dua setiap tahunnya memang dipecah antara kelas pagi dan kelas siang. Kelas satu selalu mendapatkan jadwal siang. Sedangkan, para siswa kelas tiga ditaruh di jadwal pagi dengan alasan supaya lebih bisa konsentrasi belajar untuk menghadapi ujian akhir kelulusan.

Audy berjalan dengan kaki masih terpincang. Sisa sakit akibat terjatuh beberapa waktu lalu masih belum pulih benar. Benturan ketika bermain sepak bola itu ternyata menimbulkan sedikit bengkak. Tidak parah, sih. Dibawa istirahat dan tidak banyak bergerak dulu saja sudah cukup sebenarnya. Hanya saja, kalau dipaksakan untuk jalan memang masih sakit. Makanya, sebenarnya Audy malas ke sekolah. Sudah jaraknya jauh, masih harus berjalan juga, naik angkutan umum tiga kali dengan waktu tempuh sekitar satu jam, hanya untuk melihat papan pengumuman, lalu kembali pulang. Waktu habis di jalan, dong? Buat apa, coba?

Toh, tetap saja Audy tidak punya pilihan. Bagaimana kalau ternyata kelasnya diacak—dan tidak tahu masuk pagi atau siang? Malah repot, kan?

Audy menuju gerbang sekolah yang sudah penuh oleh para siswa, terutama siswa-siswi kelas satu yang akan menjalani masa penataran hari pertama. Ia celingukan mencari teman-temannya sebelum masuk.

Audy masih celingukan sampai tiba-tiba seseorang menubruknya dari belakang. Audy yang terkejut berusaha bertumpu pada kakinya agar tidak jatuh. Celakanya, kaki yang digunakan untuk bertumpu malah kaki yang sakit.

“Aduh!” teriak Audy, yang kemudian segera bersandar pada dinding sekolah. Audy segera menoleh. Seorang anak perempuan seumurannya tampak tersenyum jahil.

“Elo ngagetin aja deh!” protes Audy.

“Sori … sori!” Nicky, anak perempuan tersebut, malah tertawa. “Kangen tahu!” Nicky merangkul Audy.

Audy lagi-lagi meringis menahan rasa sakit yang kembali menjalar di kakinya.

“Eh, kaki elo kenapa?” Nicky tersadar.

“Jatuh, kena batu. Gue abis maen bola sama temen-temen gue.”

“Main bola?” Nicky mengernyit.

Audy masih meringis. Lalu mengangguk.

“Ada-ada aja, deh, lo.” Nicky membantu Audy yang tertatih-tatih melangkah.

“Udah berasa kayak Juergen Klinsmann pas dijegal,” ujar Audy.

Nicky menatap Audy. Tidak mengerti. “Siapa itu?”

Striker Jerman,” jawab Audy.

Nicky mengangkat bahunya. “Nggak tahu. Nggak suka bola.”

Audy kembali nyengir, lalu melepaskan pelan-pelan pegangan Nicky. Ia mulai bisa melangkah normal meski pelan-pelan.

“Lo ngikutin Piala Dunia?” Nicky penasaran.

“Iyalah! Selama liburan, kerjaan gue begadang mulu nonton bola.”

“Wah. Keren lo, sampai begadang! Gue, sih, nggak pernah begadang. Sekalinya begadang, paling buat ngerjain PR fisika doang.”

Audy tertawa. “Sama. Gue juga sebelumnya cuma begadang buat ngerjain PR fisika.”

“Pak Chris gitu, loh. Kalo ngasih PR nggak kira-kira.” Nicky langsung teringat dengan guru fisika yang mengajar mereka di kelas satu.

Mereka terus berjalan masuk sambil mengobrol, melewati kerumunan para siswa, hingga sebuah suara menghentikan langkah mereka.

“Audy!” Terdengar suara memanggil. Ternyata dari arah kerumunan siswa kelas I-2—mantan siswa kelas I-2, tepatnya. Audy pun melambai untuk membalasnya.

“Gue ke sana dulu, ya, Nick?” Audy berkata sambil kemudian beranjak.

“OK. Ntar kalo udah selesai pulang bareng, ya?”

Audy menghentikan langkah dan membalik badan, lalu mengacungkan jempolnya. “Sip!”

Lihat selengkapnya