Hari pertama tahun ajaran baru akhirnya tiba. Audy puas menutup liburannya dengan menjadi saksi sejarah ketika Brazil akhirnya menjadi negara pertama yang memperoleh gelar juara dunia terbanyak sebanyak empat kali. Sebenarnya, siapa pun pemenangnya tetap saja sejarah baru akan terukir karena lawan Brazil di final adalah Italia yang sebelumnya juga juara dunia tiga kali.
Demi melihat sejarah baru dalam dunia sepakbola, Audy akhirnya terpaksa menelan sendiri omongannya yang sempat bertekad untuk tidak lagi menonton pertandingan sepakbola. Tentu saja, seperti sudah diduga, Ayah pun tertawa habis-habisan. Meski demikian, Audy tetap punya argumen, bahwa “dendamnya” telah terbalaskan ketika Bulgaria dipermak Swedia pada perebutan juara ketiga dengan skor 4-0. Karena itu, tidak masalah jika Audy kembali menonton pertandingan sepakbola—begitu menurutnya.
Pertandingan final berakhir dengan skor 3-2 melalui adu penalti yang dramatis. Dan karena berakhir dengan adu penalti, bisa dipastikan kalau pertandingan berjalan lebih lama dengan perpanjangan waktu dan baru berakhir jelang subuh. Yang artinya lagi, Audy baru tidur setelah subuh … dan baru bangun pukul sebelas. Itu pun karena kamarnya diketuk Bi Mar. Audy pun panik!
Audy segera melesat untuk mandi secepat kilat. Sarapan (atau makan siang?) asal comot saja, yang penting perut terisi. Yang benar saja? Masa hari pertama belum apa-apa sudah terlambat?
“Bi! Berangkat!” Audy berteriak sambil mengambil tas ranselnya dan melesat keluar.
“Hati-hati, Mbak!” Bi Mar berteriak dari dapur.
Audy mempercepat langkahnya. Jarum jam yang melingkar di tangannya menunjukkan waktu pukul 11.30. Harusnya ia sudah berangkat paling lambat pukul 11.15. Eh, pukul 11.10 malah—Audy sudah menghitungnya dan menurutnya itu adalah waktu berangkat paling ideal.
Sebenarnya berangkat pukul 11.30 masih terkejar karena sekolah dimulai pada pukul 12.45 dan waktu tempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Hanya saja, Audy ingin tiba lebih awal. Ia ingin memilih tempat duduk yang strategis, dan kalau bisa duduk sebangku dengan Mikha.
Untuk tiba di sekolah, Audy harus naik angkutan umum sebanyak tiga kali. Pertama, angkutan umum dari depan komplek perumahan yang membawanya ke pertigaan Kampung Utan. Selanjutnya, ia harus naik lagi yang ke arah Lebak Bulus. Dari Lebak Bulus, ada dua pilihan, yaitu naik angkutan kota minibus berwarna merah jurusan Pasar Minggu atau bus Metromini jurusan Blok M. Keduanya sama-sama lewat Cipete.
Kalau naik angkot, Audy bisa berhenti tepat di depan jalan masuk sekolahnya yang tidak terlalu jauh. Namun, ongkosnya lebih mahal, minimal dua ratus rupiah karena supir angkot tidak mau dibayar seratus. Naik bus Metromini lebih murah karena masih mau dibayar seratus rupiah, tetapi harus menyeberang jalan raya dan berjalan lebih jauh juga. Dalam kondisi seperti ini, angkot adalah pilihan yang lebih baik ketimbang Metromini.
Untunglah, Audy berhasil mendapatkan angkot. Meski demikian, tetap saja ia terengah-engah karena harus berjalan cepat memburu waktu.
Pukul 12.30—lebih sepertinya—Audy baru tiba di sekolah. Tanpa membuang waktu, ia segera mencari kelasnya. Ini juga butuh waktu karena ternyata ia salah belok ke arah kelasnya yang dulu. Audy hanya bisa merutuki keteledorannya. Harusnya, begitu masuk gerbang dia belok kiri, bukan kanan!
Seperti yang sudah diduga, warga kelas sudah mendapatkan tempatnya masing-masing. Mikha bahkan sudah mendapatkan teman duduk di samping Dina. Ia tampak sedang mengobrol dengan Dina dan beberapa orang yang mengelilingi tempat duduknya. Satu-satunya bangku yang belum terisi adalah di sebelah Zara.
“Ehm … gue boleh duduk di situ, nggak?” Audy mendekati tempat Zara. Napasnya masih tersengal karena lelah gara-gara nyaris memutari sekolah.
Zara yang sedang mengobrol dengan Ajeng dan Tanty yang berada di belakang tempat duduknya pun menoleh.
“Eh, iya. Duduk aja.” Zara mengambil tas yang ditaruh di bangku sebelahnya, lalu tersenyum.
Audy balas tersenyum, kemudian segera duduk. Zara kembali melanjutkan obrolannya dengan Ajeng dan Tanty, sesekali tertawa. Audy yang menguping sebenarnya ingin bergabung, tetapi ia ragu. Ia malah khawatir jangan-jangan malah mengganggu pertemanan mereka yang sudah nge-geng sejak kelas satu.
Untungnya tak lama kemudian bel pelajaran pertama berbunyi. Suka atau tidak, Audy memang harus duduk di tempat itu karena sudah tidak mungkin lagi pindah. Apalagi guru yang masuk kemudian adalah Pak Steven!
Pak Steven adalah guru matematika yang terkenal amat sangat galak. Setidaknya itulah informasi yang didapat dari Mas Ardi, kakak sepupu Audy yang dulu juga bersekolah di situ. Menurut Mas Ardi, cara mengajar Pak Steven sangat cocok untuk olahraga jantung sehat. Eh … kok, olahraga jantung sehat? Maksudnya apa, nih?