Sepenggal Kisah dari SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #8

Untung Bukan Kami!

Jam pelajaran pertama baru saja selesai. Dan seperti biasa, jika jam pelajaran selesai dan guru yang akan mengajar berikutnya belum datang, anak-anak pun menghabiskan waktu dengan keluar kelas, atau mengobrol, dan terkadang membuat gaduh kelas.

“Itu guru gile bener, deh! Masa cara ngajarnya kaya’ gitu? Bener-bener killer!” komentar Eza.

“Iya, bener tuh.” Mikha tidak mau kalah memberikan komentar.

“Eh, denger-denger Pak Steven kan jadi wali kelasnya anak-anak II-5, loh!” Eza memberikan informasi.

“Yang bener, Za? Wah, biar mampus deh, itu anak-anak II-5. Hahaha.” Adrian tampak senang dengan “penderitaan” yang akan dialami oleh para siswa kelas II-5.

Mikha terbelalak, tetapi sedetik kemudian ia tertawa. Audy langsung teringat Nicky. Untunglah Nicky pindah ke kelas pagi. Kalau tidak, ia pasti “beruntung” mendapatkan paket spesial program jantung sehat bersama Pak Steven.

Eh, iya. Berhubung kelas I-1 dan I-2 pindah siang, urutannya pun berubah menjadi II-5 dan II-6. Kelas I-4 yang juga mendapat jadwal siang pun berubah menjadi II-7.

Siswa kelas I-2 memang sedikit sentimen dengan I-1. Sebagai kelas yang sama-sama dianggap papan atas, keduanya sering dibanding-bandingkan. Termasuk oleh para guru yang ditugaskan mengajar di kedua kelas itu. Karena sering dibandingkan, lama-lama muncul rasa persaingan.

Menurut para siswa kelas I-2, siswa-siswa I-1 sering belagu. Nicky sendiri tidak menampik hal ini, meski ia juga tidak setuju dengan sikap yang ditunjukkan teman-temannya. Menurut Nicky, beberapa murid kelas I-1 memang mengklaim diri sebagai bagian dari kelompok paling elit di sekolah.

Kelas I-2 sendiri, entah mengapa, jauh lebih kalem dibandingkan I-1. Entah bagaimana, siswa-siswa pintar tanpa banyak tingkah malah kebanyakan berkumpul di kelas I-2. Bahkan, sampai-sampai para guru mengenal I-2 sebagai kelas paling pasif.

Ingat, kan, dengan kasus ulangan fisika pilihan ganda ketika kelas I-1 mendapatkan jadwal ujian terlebih dahulu dan murid I-2 banyak yang kemudian meminta bocoran? Hal itu ternyata membuat—sebagian—murid kelas I-1 semakin jemawa dan akhirnya menempatkan I-2 seolah bayang-bayang I-1. Para siswa kelas I-2 lama-lama kesal. Makanya, ketika mendapat informasi bahwa Pak Steven akan menjadi wali kelas II-5 (yang dulunya I-1), anak-anak pun “bersorak gembira”. Jahat? Biarin!

“Terus, yang jadi wali kelas kita siapa, dong, Za?” tanya Mikha.

“Denger-denger sih katanya Bu Ita, guru ekonomi,” jawab Eza.

“Bu Ita? Wah, asyik dong! Dia kan orangnya baik banget.” Audy yang sedari tadi diam akhirnya bergabung juga.

“Bu Ita, mah, baik. Cantik, lagi,” puji Eza. “Bakal asyik, nih. Kita punya wali kelas Bu Ita.”

Audy, Mikha, Eza, Adrian, dan beberapa anak lain tampak sedang berkumpul di depan kelas ketika tiba-tiba Rifki masuk kelas dengan terburu-buru.

“Eh, ada Pak Chris, cepetan duduk sana.” Rifki memberi tahu.

Eh, Pak Chris? Memang sih, jam pelajaran selanjutnya adalah fisika. Hanya saja … serius, nih, Pak Chris yang mengajar lagi?

Audy yang tengah berdiri menyandar meja guru pun segera melangkah menuju tempat duduknya, di kolom kedua dari pintu. Ia berjalan dengan kepala agak menunduk.

Lihat selengkapnya