Sepenggal Kisah dari SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #9

Wajah Baru

Siang ini, kelas belum dimulai. Jarum panjang di jam tangan Audy sudah menunjuk tengah-tengah antara angka delapan dan sembilan. Namun, para siswa tampaknya belum berminat untuk bersiap di kelas. Beberapa anak laki-laki tampak bermain basket dengan serunya. Tiga lawan tiga, antara kelas II-5 dan II-6 dengan menggunakan separuh lapangan basket. Kelas II-5 boleh saja merasa paling pintar dalam akademis. Namun, selama ada Adrian, pemenang basket tetap kelas II-6.

“Yeeeaayy!”

Terdengar sorakan anak-anak perempuan yang menonton dari pinggir lapangan.

“Ayo, Adrian!” Mikha besorak memberi semangat.

Adrian melirik sekilas, kemudian tersenyum. Wajah Mikha pun memerah. Audy, yang duduk di samping Mikha, tersenyum melihat tingkah temannya itu.

“Suka, ya?” goda Audy.

Wajah Mikha semakin memerah. “Kalau iya, memang kenapa?” Ia balik bertanya.

“Ya nggak apa-apa,” jawab Audy.

Adrian kembali mendapatkan bola, lalu dengan lincah berkelit sambil men-dribble bola. Rambutnya yang selalu disisir belah tengah dan sedikit gondrong tampak jatuh di dahi dan menutupi sebagian matanya. Ia mengibaskan rambut dengan tangan satunya lagi yang tidak men-dribble.

Seorang siswa berambut cepak model crew cut berusaha menghadang. Rivano, siswa kelas II-5 yang menjadi lawan Adrian. Ia melompat mencoba menahan tembakan Adrian. Namun Adrian lebih lihai. Melihat gerak Rivano, ia tidak langsung menembak. Dan ketika Rivano sudah kembali mendarat, ia baru menembak bola. Masuk.

“Horeee!” Suara anak-anak perempuan kelas II-6 semakin heboh.

Audy tidak ikut berteriak. Namun, bibirnya mengulum senyum.

"Ehem." Tiba-tiba Mikha berdeham.

Audy menoleh. "Apa?" Namun sedetik kemudian ia paham. "Gue nggak ada apa-apa sama Rivano."

"Iya...." Mikha terkikik.

"Masalah gue sama dia udah selesai, kok." Audy berkata datar. Tahun lalu, memang ada sedikit masalah antara Audy dan Rivano. Namun, itu sudah terselesaikan dan bukan menjadi masalah lagi bagi keduanya.

"Ferry, Rifki, Rivano." Mikha lagi-lagi terkikik pelan.

"Dih, apaan, sih?" Audy mendelik.

Para siswi yang duduk di pinggir lapangan kembali serius memperhatikan jalannya pertandingan. Sesekali terdengar teriakan tertahan ketika pemain jagoannya nyaris memasukkan bola.

“Adrian jago basket. Cuma sayang, sering bolos,” gumam Audy.

“Iya. Sayang banget. Imej-nya jadi jelek,” timpal Mikha.

Adrian memang terkenal suka membolos. Sejak kelas satu malah. Meski begitu, jika disuruh memilih, Audy tetap akan memberikan dukungannya kepada Adrian ketimbang Rivano. Dulu, Audy sempat ada sedikit masalah dengan Rivano. Bukan masalah besar, sih. Namun tetap saja ada ganjalan.

Pertandingan masih berlangsung. Belum ada tanda-tanda bel dibunyikan dan anak-anak masih asyik bermain. Maklumi sajalah. Masih minggu pertama tahun ajaran baru. Masih santai.

“Dy, menurut lo, gue pantes nggak jadian sama Adrian?” tanya Mikha tiba-tiba.

“Heh?” Audy menaikkan alisnya. “Lo serius suka sama dia?”

Mikha tersenyum-senyum.

“Menurut gue … kayaknya mending lo hati-hati.”

“Karena dia suka bolos?” tebak Mikha.

Lihat selengkapnya