Biasanya pada jam istirahat sore Audy selalu berada di kelas. Keluar pun tidak jauh-jauh. Kalau tidak ke kantin belakang paling di duduk di pinggir lapangan basket sambil menonton beberapa anak bermain. Namun, kali ini Audy keluar untuk menelepon dari telepon umum yang terletak di pinggir jalan depan sekolah. Bersama Zara, Tanty, dan Ajeng tentunya.
“Mana nomor teleponnya?” Zara bertanya pada Ajeng.
Ajeng segera mengeluarkan buku diary dan membukanya ke halaman tempat ia mencatat nomor telepon Jonathan.
“Koinnya cukup, kan?” Kali ini Zara bertanya pada Tanty.
“Banyak.” Tanty memperlihatkan kepingan-kepingan koin yang ada di genggamannya.
“Terus nanti gue ngomong apaan?” Audy kembali melontarkan pertanyaan yang sama. Ia benar-benar bingung.
“Ngomong apaan, kek. Yaelah, kayak nggak pernah ngobrol sama cowok aja.” Tanty mendorong pundak Audy hingga tubuhnya bergeser ke bawah atap telepon umum berwarna biru itu.
“Gue, kan, memang nggak pernah ngobrol sama cowok.” Audy membela diri.
“Lah, itu Ferry memangnya bukan cowok?” Tanty malah menyindir.
Audy diam dan menekuk wajahnya. Ferry lagi.
Toh, Audy akhirnya mengangkat gagang telepon juga. Wajahnya tampak gugup. Kemudian, Tanty dengan sigap memasukkan satu keping koin seratus rupiah. Zara pun memutar nomor telepon Jonathan. Lalu….
“Halo?”
“Halo, bisa bicara dengan Jonathan?” Audy mencoba membuka pembicaraan.
“Diangkat teleponnya, Dy?” Zara berbisik.
Audy mengangguk.
“Iya, ini dengan Jonathan. Ini siapa, ya?”
Audy menutup mikrofon pada telepon dengan tangannya, kemudian berbisik. “Dijawab.”
Ajeng membuka mulut seolah ingin berkata “AAAHH”, tapi tak keluar suara apapun. Wajahnya tampak semringah.
“Ini dengan A….” Kalimat Audy terpotong. Ia ingat harus menggunakan nama Zara. “…Zara. Ini dengan Zara.”
“Oh … temennya Tanty, ya?”
“Iya,” jawab Audy singkat.
“Ada perlu apa?”
Audy terdiam. Ia benar-benar bingung. Ia berusaha memutar otaknya, dan….
“Mau kenalan….”