Sepenggal Kisah dari SMP

Nadya Wijanarko
Chapter #17

Akhir Semester

Halaman sekolah tampak ramai dengan para siswa berpakaian bebas. Hari ini adalah pembagian rapor semester. Tidak ada pelajaran pastinya. Makanya, siswa-siswi berpakaian bebas. Tidak datang pun tidak mengapa karena rapor diambil oleh orang tua. Meski demikian, tetap saja banyak yang memilih ke sekolah karena ingin bertemu dengan teman-teman.

Kelas dua mendapat giliran pukul sepuluh pagi setelah kelas tiga. Sementara para siswa kelas satu sudah menikmati liburan tanpa harus mengambil rapor karena mengikuti sistem caturwulan berdasarkan kurikulum yang baru.

Audy sendiri hari ini juga datang ke sekolah untuk ikut mengambil rapor. Sama seperti yang lain, ia juga tidak mengenakan seragam. Ia mengenakan pakaian favoritnya: kaos oblong berwarna dominan putih dan celana jin biru dengan lubang kecil di lututnya.

Audy melirik dalam kelasnya dengan perasaan was-was. Tampak Ayah sedang duduk menunggu giliran rapornya dipanggil. Audy memang sengaja meminta agar Ayah saja yang mengambilkan rapor. Ia khawatir Pak Steven mengungkit kejadian yang beberapa waktu lalu menimpanya gara-gara masalah bolos tanpa sengaja. Setidaknya, Ayah sudah tahu duduk permasalahan yang sebenarnya.

Selain itu, ia juga khawatir dengan nilai-nilainya. Memang, sih, selama ini nilai Audy selalu di atas rata-rata. Namun, Ibu pasti saja jeli melihat nilai yang turun. Meski bagus, kalau turun, Ibu selalu mengomel. Audy malas mendengar omelan Ibu. Mending Ayah sajalah yang mengambilkan rapornya.

“Belum, ya?” Mikha menepuk pundak Audy.

Audy menoleh, lalu menggeleng. “Kayaknya Pak Steven lagi serius sama orang tuanya Adrian.” Audy lalu menunjuk ke arah meja paling depan yang berhadapan dengan meja guru.

Mikha melongok ke dalam kelas. Tampak Pak Steven tengah berbicara serius dengan dua orang, sepertinya orang tua Adrian—garis wajah keduanya memiliki kemiripan dengan Adrian. Bagaimana, ya? Adrian membolosnya tidak kira-kira, sih. Bayangkan saja, dalam waktu seminggu, separuhnya ia bisa tidak berada di kelas.

“Masih ngecengin Adrian?” tanya Audy.

“Adrian pasti punya alasan.” Mikha bersikukuh membela gebetannya itu.

“Halooo!” Seseorang tiba-tiba menubruk Audy dan Mikha dari belakang. Keduanya pun menoleh. Nicky tampak melempar senyum.

“Gimana?” tanya Nicky.

“Rapornya?” Audy balik bertanya, kemudian langsung mengangkat bahu. Ia kembali melirik ke dalam kelas. Ayah tampak sabar menunggu nama Audy dipanggil.

“Lo udah?” tanya Mikha.

Nicky mengangguk.

“Pasti ranking satu lagi.” Audy menebak, tetapi suaranya seperti tak acuh.

“Hehehe….” Nicky malah nyengir.

“Iyalah. Anak kelas I-1 nyasar di kelas I-3. Ya pasti ranking satulah,” timpal Mikha.

“Ehm … sebenernya gue nggak di kelas II-1. Tapi di kelas II-2,” ralat Nicky.

“Nah, itu lebih jelas lagi. Pasti ranking satu kalo saingan lo eks anak kelas I-5.” Mikha kembali menimpali.

Eh iya. Supaya tidak bingung (lagi). Karena yang mendapat jadwal pagi adalah kelas I-3, I-5, I-6, dan I-7, maka urutannya pun berubah menjadi II-1, II-2, II-3, dan II-4. Kalau Nicky berada di kelas II-2, berarti teman-teman sekelasnya dulunya adalah siswa kelas I-5.

Audy tidak menanggapi. Matanya tampak serius memperhatikan Ayah. Diam-diam ia merasa iri dengan Nicky. Nicky yang ranking satu pasti tidak akan dimarahi orang tua, pikirnya. Berbeda dengan Audy yang harus bersiap dengan cecaran Ibu jika tidak masuk sepuluh besar meski nilainya bagus-bagus.

“Masih lama?” tanya Nicky.

Audy mengangkat bahu. Gara-gara Adrian bikin kasus, pembagian rapor jadi terhambat, nih.

“Nunggu di tempat biasa aja gimana?” ajak Nicky.

Audy dan Mikha menoleh.

“Daripada garing kelamaan nunggu.” Nicky mulai tidak sabar.

Audy kembali menatap Ayah. Ayah pun tampaknya mulai gelisah. Tampak beberapa kali ia mengeluarkan pager dan melihat layarnya. Entah menunggu pesan dari siapa.

Audy melambaikan tangan, berusaha memanggil Ayah. Beberapa kali ia melambaikan tangan hingga Ayah akhirnya melihat ke arahnya.

Ayah tampak membuka mulutnya dan terlihat berkata, “Ada apa?”

Audy menunjuk ke arah pintu gerbang sekolah, sambil menggerakkan mulutnya untuk berkata, “Aku mau jalan sama Nicky….”

“Ha?” Ayah tidak mengerti.

Audy kembali menunjuk ke arah pintu gerbang sekolah. Tidak mungkin berteriak, kan? Tangan Audy akhirnya mengepal sambil menyembulkan jempol dan jari kelingking hingga membentuk seperti telepon. Ayah pun paham. Ia menunjukkan pager-nya. Audy mengangguk.

“Yuk. Tapi ke telepon umum dulu, ya. Gue mau kirim pesan ke  pager bokap dulu,” ajak Audy.

Audy, Nicky dan Mikha sudah berada di “tempat rahasia” mereka. Mikha tidak memberi tahu ibunya yang mengambilkan rapor. Sudah menjadi kebiasaan Mikha yang main kabur duluan. Tidak masalah juga karena rumah Mikha hanya berjarak satu kali naik angkutan umum yang bahkan tidak menyeberang jalan raya.

“Kelas pagi gimana, Nick?” tanya Audy. Ia duduk sambil menyelonjorkan kaki di undakan pinggir gedung. Punggungnya menyandar pada salah satu ujung.

“Enak,” jawab Nicky.

“Anak-anaknya gimana? Bukannya kebanyakan anak bandel, ya?” Kali ini Mikha yang bertanya.

“Kata siapa bandel?” Nicky balik bertanya retoris.

“Mereka asyik-asyik?” Mikha memastikan.

“Asyik, kok.”

Mikha dan Audy mengangguk-angguk.

“Iya, sih, kalau soal pelajaran mereka ketinggalan. Gue juga harus menyesuaikan diri karena guru-guru ngajarnya jadi lambat. Tapi, mereka nggak bandel, kok. Ada yang bandel, tapi yang baik juga ada. Banyak malah.”

Oh….

Lihat selengkapnya