Dari seluruh mata pelajaran, Audy paling malas mengikuti materi “Bimbingan Karier”. “Bimbingan Karier”, biasa disingkat “BK”, adalah materi tambahan untuk membantu siswa merencanakan masa depannya. Termasuk menentukan apakah akan melanjutkan ke SMU atau SMK, juga memilih jurusan di SMU, kuliah, dan akhirnya adalah pilihan karier setelah lulus. Intinya, masa depan harus direncanakan.
Sebagai pelengkap, para siswa diberikan buku lembaran kerja yang harus diisi dengan materi terbagi untuk enam semester. Pada semester satu dan dua, materi lebih banyak tentang pengenalan diri. Mulai semester tiga, materi sudah mulai memasuki rencana karier ke depan.
Buku lembar kerja Audy sendiri hanya terisi dua bab. Sisanya, ia biarkan kosong melompong. Penyebabnya, Audy belum punya cita-cita. Kalaupun ada, ia ragu untuk meraihnya. Bagaimana, ya? Cita-cita anak-anak sesusianya tidak jauh-jauh dari insinyur atau dokter. Setidaknya itu yang terlontar ketika misalnya ada pertanyaan wawancara dadakan yang menanyakan cita-cita, jawabannya kalau bukan insinyur pasti dokter. Ada lagi, sih, satu jawaban “klise”, yaitu guru. Hanya saja, mengingat profesi guru seakan identik dengan kesejahteraan yang … ya … begitulah, jawaban “ingin menjadi guru” seolah terlupakan. Bahkan, kadang justru gurunya sendiri yang menyarankan agar para siswa setelah dewasa nanti jangan menjadi guru (loh, kok?). Ah, sudahlah. Mari kita kembali ke Audy saja.
Orang tua Audy sendiri adalah insinyur. Setidaknya, itulah gelar yang tersemat di depan nama mereka: Ir., alias insinyur. Audy sendiri kadang terpikir juga untuk mengikuti jejak orang tuanya. Hanya saja, ia tidak yakin. Lagipula, bukankah yang namanya kerja itu, ya, kerja saja? Begini, ya. Seandainya kamu melihat kasir supermarket, atau karyawan bank, atau pegawai di kantor-kantor pemerintahan, apa iya itu adalah cita-cita mereka sejak kecil? Bisa jadi tidak, kan? Pekerjaan itu, ya, tergantung tempat kerja mana yang akan menerima. Memangnya bisa memilih-milih pekerjaan? Bukankah melamar kerja itu sulit? Paling tidak, itulah yang ada di benak Audy ketika melihat betapa sulitnya Si Doel mendapatkan pekerjaan meski sudah bergelar “Tukang Insinyur” dalam sinetron favoritnya, “Si Doel Anak Sekolahan”, yang rutin diputar seminggu sekali di televisi. Maka dari itu, Audy pun jadi malas merancang cita-citanya sendiri. Baginya, hidup itu mengalir saja, lihat saja nanti seperti apa ke depannya.
“Maulidya Rachmadiany!” Bu Wati, guru yang mengajar “Bimbingan Karier”, memanggil Audy.
Seisi kelas pun menoleh ke tempat duduk Audy. Namun, Audy bergeming. Ia tidak merespons sama sekali.
“Yang namanya Maulidya yang mana, ya?”
Audy masih bergeming. Zara menoleh. Tahulah ia penyebabnya. Bagaimana Audy mendengar namanya dipanggil jika telinganya disumpal earphone? Zara pun mencabut salah satu earphone yang menempel.
Audy pun terkejut. Ia menoleh. “Ada apa?”
“Lo dipanggil Bu Wati.” Zara memberi tahu.
Audy segera menatap ke depan. Tampak olehnya teman-teman sekelas semua menatapnya.
“MAULIDYA RACHMADIANY!” Suara Bu Wati terdengar semakin keras. Tampaknya ia mulai jengkel karena Audy tidak juga menyahut.
“Saya … Bu….” Ragu-ragu, Audy mengangkat tangannya.