Para siswa kembali ke dalam bus yang kembali melaju. Kali ini tujuan selanjutnya adalah Cihampelas. Dan sebenarnya, inilah yang paling dinanti karena benar-benar waktu bebas. Seperti biasa, anak-anak begitu riuh. Beberapa kali terlihat kilatan dari lampu kamera. Beberapa anak saling memotret satu sama lain.
“Ikutan….” Beberapa anak langsung menyerbu begitu Zara mengeluarkan kameranya. Padahal, Zara hanya memeriksa sisa frame yang masih bisa dipakai.
“Bentar … bentar….” Zara akhirnya mengalah juga.
Audy pun mengeluarkan kameranya. Namun, ia malah diam-diam memotret ke arah depan.
“Eh, lo ada kamera juga?”
Audy akhirnya ketahuan juga. Ia pun terpaksa menjadi fotografer dadakan untuk teman-temannya.
“Udah, ya.” Audy menutup kameranya.
“Yaaahh….” Beberapa suara terdengar kecewa.
“Buat nanti di Cihampelas.” Audy beralasan.
Audy pun kembali ke tempat duduknya. Matanya menatap keluar melihat pemandangan. Bus terus melaju di sela-sela pepohonan rindang dan rumah-rumah kuno bergaya Belanda. Lalu berbelok ke utara ke Jalan Dago. Pepohonan rindang masih menghiasi pinggir-pinggir jalan. Apalagi ketika bus berbelok tepat di depan sebuah rumah sakit besar.
Mata Audy tiba-tiba tertumbuk pada sebuah bangunan di sebelah kanan jalan. Ia begitu penasaran, bahkan saking penasarannya, ia sampai beralih ke kursi bagian kanan, berdiri menumpu pada kursi yang ditempati Lia dan Bobby.
“Kenapa, Dy?” Lia yang bingung melihat tingkah Audy akhirnya ikut melihat ke jendela. “Institut Teknologi Bandung.” Lia membaca tulisan yang tertera pada gerbang tersebut.
Bibir Audy tiba-tiba menyunggingkan senyum, lalu kembali ke tempat duduknya.
“Lo kenapa?” Mikha bingung juga.
“Itu ITB.” Audy menunjuk ke arah kanan. “Itu kampus orang tua gue.”
“Orang tua elo lulusan ITB?” tanya Mikha.
Audy mengangguk. “Baru kali ini gue ngeliat kampusnya. Asyik juga kayaknya kalo kuliah di situ.” Audy tampak bersemangat.
Dan Mikha tiba-tiba teringat sesuatu. “Kalo gitu, kenapa nggak elo tulis aja di tugas BK? Tulis aja kalo rencana elo itu nanti mau kuliah di ITB.”
Audy terbelalak. Iya juga, ya? Kenapa tidak terpikirkan?
“Tapi gue nanti kuliah apa? Emang ada jurusan apa aja di situ?”
“Yaelah. Lo cari tahu aja. Tanya bonyok lo,” usul Mikha. “Gue juga kayaknya pengen kuliah di situ. Kampusnya asyik banget kayaknya. Bangunannya keren.”
“Mau ambil jurusan apa?” Audy mengernyit.
“Nggak tahu. Lihat saja nanti,” jawab Mikha asal.
“Yah, sama aja lo.” Audy mendengkus.
Bus terus melaju, hingga akhirnya tiba di Cihampelas. Setelah bus diparkir, anak-anak segera berhamburan keluar. Audy pun keluar bersama Mikha.
“Mau ke mana kita, nih?” tanya Mikha.
Audy mengangkat bahu. Ia memang tidak ada ide sama sekali.
“Mau lihat-lihat celana jin aja?” ajak Mikha.
“Boleh,” jawab Audy.
“Lagian, lo kayaknya butuh celana baru.” Mikha menunjuk lutut Audy.
“Eh?” Audy melihat lututnya. Tampak sebuah lubang kecil pada celana jin yang dikenakannya. “Ini, mah, style gue, Mik.”
“Style apaan? Kok, pakai celana bolong-bolong gitu?”
“Justru celana jin itu harus ada bolongnya. Kalo nggak bolong namanya bukan celana jin.” Audy berargumen.
“Ngasal aja deh, lo.”
Keduanya berjalan menuju jalan raya yang memisahkan tempat parkir dengan tempat perbelanjaan. Mereka melewati bus yang dinaiki rombongan kelas II-2 dan melihat Nicky tengah berdiri sambil melihat segerombol anak laki-laki yang tengah nongkrong-nongkrong sambil bermain gitar.
“Hei, Nick. Sendirian aja?” sapa Mikha.
Nicky menoleh. “Eh, kalian.” Ia menjawab singkat, kemudian kembali menatap ke arah gerombolan anak laki-laki tersebut.